Jiwa yang Terpenjara

Oleh: Wendra Wijaya

MENTARI
bersandar di gigir senja. Jingga yang tercipta dari semburat cahayanya menawarkan sebentuk keteduhan. Di jalanan ibu kota, iring-iringan pawai kebudayaan tampak semarak. Jubelan penonton berjejer memenuhi pinggiran lintasan, membentuk garis patah-patah. Sesekali, kepala mereka melongok dan melintas pandang, mencari batas keingintahuan yang tertanam. Keriangan tawa anak-anak sesekali ditingkahi kekhawatiran Ibunya. Beberapa remaja asyik nongkrong di dahan-dahan pohon yang cukup besar agar dapat melihat atraksi, lengkap dan jelas. Seluruhnya menyatu padu. Riuh, menggemuruh. Tak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, mereka tak ingin melewatkan berbagai atraksi yang ditampilkan sebagai sebentuk perayaan. Keriangan sejenak, sebelum akhirnya kembali larut ke dalam kehidupannya, di dalam dimensi sosialnya masing-masing.

Di panggung kehormatan, Goblek masih saja terdiam. Ia seolah hirau dengan keriangan dan riuh pesta perayaan. Wajahnya kuyu. Memandang iring-iringan pawai yang melintas, mengamatinya dengan tatapan nanar. Tubuh-tubuh dekil dan kerdil berhasil dikelabui dengan balutan busana indah dan gemuruh gamelan. Tapi kegelisahan seniman-seniman tradisi itu, ia bisa melihatnya. Suara bertalu-talu serupa jerit kemalangan yang masih akrab menyapa mereka itu mengusik keheningan hatinya, meruntuhkan kebanggaan setelah bertahun-tahun melangkah dalam kemenangan yang gemilang.

"Kami adalah orang-orang yang merayakan hidup dengan sederhana, yang mengikhlaskan diri terhadap apa saja. Dengan berkesenian, jiwa kami merdeka. Melalui olah rasa, kami berusaha mencari kunci untuk membuka penjara-penjara tubuh kami. Kami adalah orang-orang sederhana, yang menjalan idan memaknai hidup dengan sederhana. Kami bernama kebebasan."

Ia terhenyak. Suara-suara itu, ya, suara yang hanya menyerupai bisik itu menghujamnya, menyudutkannya ke satu ruang kosong tak bernama, menghempasnya ke dalam suatu masa yang entah. Dulu, suara-suara itu bukanlah anak panah yang dilesatkan untuk menghujam dan mencabik-cabik dirinya. Suara itu bukanlah jerit mahluk yang terluka, yang terabaikan dalam ambisi besar kekuasaan. Dulu, suara itu adalah nyanyian rindu. Senandung yang dilantunkan sebagai puja-puji atas pencapaian peradaban. Senandung yang dilantunkan sebagai perayaan atas kehidupan. Senandung yang dilantunkan sebagai sebentuk doa bagi dirinya. Senandung yang dilantunkan sebagai....

"Pak,sudah waktunya menerima cendera mata."

Karto membuyarkan lamunan Goblek, mengembalikan kesadarannya. Orang kepercayaan Goblek itu hanya terpana. Wajah menggambarkan kebingungan. Kegundahan.

"Oh, iya....," sahut Goblek seraya berdiri. Ia menerima cendera mata dari seniman-seniman tradisi itu. Entah kenapa, kali ini Goblek sulit tersenyum. Berkali-kali ia mencoba memberi senyum seperti pada hari-hari sebelumnya, bulan-bulan sebelumnya, tahun-tahun sebelumnya. Senyum itu tak lagi mengembang seperti biasanya. Wajahnya kini kaku. Ia gugup, lalu kembali menghempaskan diri dan terduduk.

"Ada apa, Pak? Bapak tidak enak badan?" Karto membisik di telinganya.

Goblek masih terdiam. Tatapannya kosong, pikirannya kosong. Atraksi apik yang lalu lalang di depannya tak juga mampu menghibur kesepiannya, menghapus kekalutannya. Justru, gemuruh itu semakin mencabik-cabik hatinya. Semakin dalam.

"Pak?" buru Karto.

Goblek menolehnya. Lama ia memandang Karto yang selama ini setia mendengar keluh dan kegalauannya. Seorang bawahan sekaligus sahabat yang selalu mendampingi dirinya.

"Tidak Karto, saya tidak apa-apa. Nanti kamu akan tahu sendiri," jawab Goblek singkat.Ia kembali hanyut dalam lamunannya. Membawa pikirannya melintas waktu, jauhmeninggalkan riuh pesta perayaan.

GELOMBANG aksi mengantarkan Goblek menduduki tampuk kekuasaan. Ketika itu, sekelompok massa menolaknya, sementara massa lainnya menginginkan dirinya. Aparat keamanan bersiaga, tegang menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang ada. Bentrok tak bisa dielakkan, meski akhirnya berhasil mengangkat dirinya sebagai penguasa baru untuk memimpin sekelompok orang dengan asal usul, suku bangsa, bahasa, dan kepercayaan yang tak sama.

"Ah, mungkin itu harga yang pantas untuk sebuah demokrasi. Dimana-mana, kekuasaanharus dibayar dengan darah, atau minimal air mata," batinnya.

Waktu berlalu dan hari-hari semakin tak pasti. Ia menjelma pahlawan baru bagi rakyatnya dengan berbagai terobosan dan keberhasilannya.

"Pemerintah ada untuk rakyat. Rakyat bersama pemerintah harus bahu-membahu membangun daerah, menempatkan tanah ini pada posisi yang tertinggi dan terhormat. Kalau rakyat tidak sejahtera, untuk apa ada pemerintah? Lebih baik bubarkan saja!" pidatonya yang lantang, tegas, dan menantang kembali terngiang.

Ia mengingat semua itu. Kedigjayaan masa lalu yang diraihnya menjadi penggambaran nyata tentang kemenangan dan keberhasilan. Jalanan ber-hot mix, pemberdayaan masyararakat kecil petani dan nelayan berjalan baik, mengusahakan persamaan gender dengan memberikan porsi yang cukup besar bagi kaum perempuan, pembangunan ikon-ikon sebagai jati diri dan ciri khas wilayah, mengusahakan pendidikan dan kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Berbagai penghargaan kemudian mengaliri dirinya. Seluruh negeri mengelu-elukan, berdecak kagum atas setiap gagasan dan inovasinya. Goblek menjadi pusat pembelajaran, menjadi laboratorium bagi setiap orang yang ingin maju, menjadi inspirasi untuk membangun peradaban yang lebih baik.

Tapi itu dulu, ketika orang-orang masih memiliki senyum untuknya. Sebelum gaib melumat segalanya. Goblek hanya bisa merekam jejak. Kini, kata-kata tak lagi bersahabat. Ia menyerang dari segala ruang sunyi. Di lembar-lembar koran, huruf-huruf terluka menyayat namanya. Orang-orang membanting-banting dirinya. Menghujatnya, memakinya. Membenamkan Goblek, menghakimi setiap kata yang diucapkannya.

GAMELAN masih menggemuruh, tetap merupa sayatan kesedihan. Lirih, merintih. Senja tak lagi anggun, dan jingga. Gelap mulai datang. Iringan-iringan pawai masih tetap bersemangat. Langkah mereka masih tegap, walau kerikil-kerikil tajam mulai bertebaran, memenuhi ruas jalan ibu kota. Mereka tertatih, tanpa keluh. Kerikil-kerikil itu dilintasi, dengan ketegaran dan kebesaran hati yang sama.

"Kami adalah orang-orang yang merayakan hidup dengan sederhana, yang mengikhlaskan diri terhadap apa saja. Dengan berkesenian, jiwa kami merdeka. Melalui olah rasa, kami berusaha mencari kunci untuk membuka penjara-penjara tubuh kami. Kami adalah orang-orang sederhana, yang menjalani dan memaknai hidup dengan sederhana. Kami bernama kebebasan."

Sesaat masih suntuk dan mengakrabi kesendiriannya, Goblek terpana. Sayatan-sayatan kepedihan yang tersampaikan lewat gemuruh gamelan membingungkan dirinya. Pikirannya kembali berkecamuk.

"Bagaimana mereka bisa melewati kerikil setajam itu? Tidakkah itu akan menyakiti mereka?"

Goblek kembali membatin.

"Ah, mereka pasti merasakannya. Sangatlah munafik kalau mereka mengingkari itu semua!"

Di luar kesadaran, emosinya membuncah. Goblek menghardik. Ia meracau sendiri. Air liurnya muncrat, lalu menggenang dan membanjiri jalur pawai. Dari dalam dirinya bermuntahan sampah. Dari dalam dirinya bermuntahan kotoran. Dari dalam dirinya bermuntahan tinja. Dari dalam dirinya bermuntahan....

Teriak-teriak kepanikan menggema. Panitia perayaan berusaha membersihkan jalanan. Sekeras apapun usaha, mereka tetap gagal. Air liur tetap membanjir, menyapu setiap apa yang ada. Para pejabat dan sejawat di kiri kanan dan belakangnya berhamburan. Mereka jijik dengan busuk yang tercium dari genangan liur Goblek. Mereka memandangnya sinis, memuntahkan isi kepala, lalu berpaling meninggalkannya.

Tetapi di depannya, orang-orang itu, seniman-seniman itu, tetap melangkah. Masih dengan keikhlasan yang sama, mereka tak hirau dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Gamelan tetap menggemuruh, atraksi terus berjalan. Mereka menari, memberikan senyum yang berbeda kepada Goblek. Sekulum senyum keteduhan yang memanggil-manggil Goblek melangkah bersama mereka. Untuk memaknai setiap perayaan kehidupan sesederhana mereka.

"Karto! Bagaimana ini bisa terjadi?"

"Ini memang harus terjadi, Pak."

"Apa maksudmu?"

"Ini memang harus terjadi, Pak."

"Jawab pertanyaanku!"

"Berhati-hatilah dengan kata. Kata memiliki kekuatan yang maha dasyat. Ia bisa memperbaiki sekaligus merusak setiap apa. Ia bisa membangun sekaligus meleburkan. Ia bisa memberi kehidupan sekaligus membunuhnya. Jangan sekali-sekali bermain dengan kata, Pak."

"Aku tak paham maksudmu, Karto!"

"Janganlah bermain dengan kata-kata, Pak, apalagi kalau jiwa masih terpenjara."

"Jiwaku tidak terpenjara, aku orang bebas!"

Tak sanggup Goblek menahan kekesalannya Tak seperti biasanya, pemahaman-pemahaman Karto tak bisa diterimanya nalarnya.

"Tubuh Bapak memang merdeka, tapi jiwa Bapak masih terpenjara. Belajarlah dari mereka,Pak, seniman-seniman tradisi itu. Belajarlah bagaimana mereka mengikhlaskan dirinya terhadap apa saja, tanpa ambisi yang dipaksakan. Belajarlah memaknai cinta dari mereka."

"Kau pikir aku tak memahami cinta? Cintalah yang membawaku pada ambisi. Ingatlah itu, Karto!"

"Cinta itu sudah teracuni, Pak Goblek yang terhormat. Bukanlah cinta kalau di dalamnya berisi kepentingan dan keinginan untuk kebahagiaan diri sendiri. Kita tak perlu menunjukkan cinta kepada apa dan siapa pun yang kita cinta. Janganlah cinta itu dibentuk sesuai dengan keinginan kita. Biarlah cinta yang bekerja dalam diri kita, untuk mereka. Dengan cinta juga, bebaskanlah penjara-penjara jiwa Bapak yang terpenjara oleh cinta."

"Jangan sok pintar di depanku, Karto!"

Goblek berdiri. Matanya memerah. Amarahnya memuncak.

"Pergi kau, Karto!" hardik Goblek.

"Saya akan pergi, Pak, tapi tidak pernah benar-benar meninggalkan Bapak."

Lama Karto menatap Goblek, lalu memejamkan mata. Ia mengheningkan diri, membiarkan sunyi bekerja di dalam dirinya, lalu melangkah meninggalkan Goblek yang bergetar dikuasai amarah. Di belakangnya, rombongan seniman tradisi mengiringi langkahnya, lalu lenyap bersama malam yang memekat.

Goblek hanya bisa termenung. Kini ia benar-benar sendiri. Karto yang telah mendampinginya selama bertahun-tahun tak lagi berada di sisinya. Perlahan, genangan yang tercipta dari air liurnya mulai merangsek naik.

"Persetan denganmu, Karto! Tapi dimana teman-temanku? Dimana mereka-mereka yang selalu membelai dan meyakinkanku dengan mimpi indah? Aku harus mencari mereka. Aku butuh mereka!" teriak Goblek, lalu hanyut tersapu banjir liurnya sendiri.

Dusun Senja, pertengahan Agustus 2010
Continue reading...

setelah upacara perkabungan


ingin sekali waktu kuakrabi
upacara perkabungan burung-burung
: perjanjian sunyi usai percintaan
lewat riuh anak-anak angin
yang berlari dalam gerimis
di bawah bulan penuh
doa mereka kirimkan
dalam ramuan bunga, dupa dan tirta
dari seluruh tubuhnya

gerimis lalu kubayangkan
memburamkan jejak perjalanan
sejarah yang telah mengikat
pengembaraan ruh-ruh
di satu titik kehampaan
kemudian melepas
duka yang dihantar usia

melangkahlah! –ucapku
bersama angin saat musim menua
mengantar rakit yang dibentuk
dari doa arungi telaga
meliuk-liuk bagai tari akhir waktu
lalu meruntuhkan batas kesenyapan
bahwa kematian menjadi awal
bagi permulaan

sementara di langit
mimpi perjumpaan sirna
dalam permainan zaman
burung-burung kembali riang
menata abadi peraduan
dari daun dan ranting rapuh
yang dikirim anak-anak angin
Continue reading...

merekam jejak

Oleh: Wendra Wijaya

melintas waktu aku merekam jejak
di setiap detak detik jam kota yang menua
melampaui jarak batas kehampaan
cuaca yang terperangkap resah
menyusun patah kata namamu

percintaan kita adalah deru
angin yang merasuk lewat celah dinding
memberi batas pengertian kata-kata
pada sajak yang menyayat
di akhir percakapan
adakah jejak yang kau tinggalkan
selain mimpi tentang kelahiran?

sementara di setiap ujung pengharapan
menghempas musim yang purba
kita selalu terpisah dalam jeda
: sebuah alamat yang belum sempat dinamakan
Continue reading...

kunamakan kau senja

Oleh: Wendra Wijaya

kunamakan kau senja
karena terlahir dari rahim langit
menyesap senyap kegersangan
musim purba jiwaku
merekam jejak percakapan burung-burung
: inikah takdir atau kilatan lalu?

di batas waktu yang belum usai
kukirim angin lewat persilangan cahaya
pada celah ranting rapuh tubuhku
dalam kesunyian yang menua
menyangga retak patah kata namamu

lalu siapa yang menyemai malam
menyekat batas percintaan dari keluh
usai percakapan?

maka di penghujung musim
kunamakan kau senja
sebelum tiba upacara perkabungan
usia memekat, dan pekat!
Continue reading...

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra