tag:blogger.com,1999:blog-32359555898489320592024-03-08T13:40:42.474+08:00Rajer Babatadminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.comBlogger25625tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-39304270895598347912009-05-21T11:01:00.001+08:002009-05-21T11:03:05.520+08:00Kicau Burung dari Negeri Seberang<div style="text-align: justify;"><a href="http://catatankecil-wendrawijaya.blogspot.com/">Oleh: Wendra Wijaya<br /><br /></a>Aku ingin bercerita padamu. Sebuah kisah tentang kejujuran yang selama ini terus menggelayut di alam bawah sadarku. Tahukah kau? Sebelum mengenal dunia ini, aku hanyalah setitik cahaya. Setitik saja.<br /><br />Aku mencoba menerobos keangkuhan malam dengan kisah-kisah tentang keindahan. Aku ingin menghiasinya dengan cerita cinta, bukan tentang kegetiran yang selama ini selalu kulukiskan di dalam pulauku.<br /><br /><span class="fullpost">Kau tahu —seperti yang pernah kuceritakan padamu— aku terlalu cemburu dengan segala kisah-kisahmu. Aku terlalu cemburu padamu, pada orang-orang yang singgah di pulaumu. Ingin sekali aku mampu dengan setia melukiskan pulauku dengan cerita-cerita tentang cinta, kisah-kisah tentang kesetiaan. Seperti kesetiaan senja yang mendampingimu. Walau terkadang, engkau sendiri yang meninggalkannya.<br /><br />Sungguh, hari ini aku sangat bingung. Bukan karena kicau yang kau nyanyikan di pulaumu. Aku merasakan sesuatu yang beda. Sesuatu yang tak pernah lagi kurasakan. Tak pernah lagi kutemukan kenyamanan seperti sebelum aku menggoreskan tinta kelam di peraduanku. Aku merindukan masa-masa itu. Tahukah kau tentang itu?<br /><br />Kicaumu bukanlah sekedar nyanyian sumbang bagiku. Kicau itu adalah sebuah keinginan. Bagiku kicau itu adalah sebuah ajakan untuk kembali menyatukan jarak yang terbentang diantara pulauku, dan pulaumu!<br /><br />Kalau kau mengijinkan, aku ingin kita kembali berbincang, bercinta di bawah lembayung senja yang pernah kita lalui bersama di waktu-waktu sebelumnya. Mungkin, kotak pos di halaman rumahku, atau rumahmu, tak akan pernah lagi kosong dengan keluh kesah tentang kegetiran hidup.<br /><br />Dulu, aku pernah memintamu membangun kotak pos di rumahmu. Untukku! Barangkali engkau belum siap. Atau juga, mungkin belum waktunya. Engkau enggan membangunnya dengan kepercayaanmu. Tapi kau harus tahu, sungguh aku sangat menginginkan itu. Tentu saja, jika engkau berkenan dan kita diberi cukup waktu menjalaninya.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-51857384099195099232009-05-18T13:05:00.000+08:002009-05-18T13:06:42.779+08:00Cinta<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com">Oleh: Boyke SN</a><br /><br />Dengan sekian banyak melewati pagi, sekian kali mengenal maunya. Sekian banyak pula kerinduan membelalakkan mata. Dan sekian kali juga kehambaran dalam percintaan.<br /><br />Kawan, cobalah kembali bongkar rekaman hari-hari beberapa tahun lewat. Curahan peluh bergemuruh deras begitu saja, tanpa ada rsa ngilu ataupun dingin yang menggilkan. Semua berawal atas cinta, cinta tiada arah kemana-mana. Kebugaranpun tercipta dengan sederhana. Aku tahu, kita telah menegak alkohol sari bayangan berkali-kali menjelang tidur hingga tak mengenal lagi wajah siapa-siapa. Samar dan mencurigakan. Tiap gerak adalah ancaman. Tiap kata adalah petaka. Diam ternyata menjadi persoalan. Pengadilan pertanggungjawaban moral.<br /><br /><span class="fullpost">Entah berapa sudah butir benih ditebar disisi trotoar yang kita pungut dari segala arah kepenatan. Berapa sudah waktu dipersembahkan denga tata cara sendiri. Mempertajam dengan asahan kesuntukan. Akankah pernah berharap tumbuh menjadi pohon-pohon berbuah ranum memenuhi kota, atau belantara gedung-gedung berlantai seribu terlihat dari penjuru manapun. Juga sebagai tanda ancer-ancer bila tersesat?<br /><br />Aku sebenarnya sangsi akan hal itu, sebab aku lebih menyukai percintaan dari pada dicintai. Dan aku hanya meyakini apapun bentuk terbaik bermula akan rasa percintaan.<br />Bukan melalui kotak-kotak teka-teki taktik membungkus cinta untuk memperkasakan diri.<br /><br />O, berapa sudah butir-butir benih terbengkalai kemudian mati pada persengketaan pikiran masing-masing?<br /><br />Aku sadar, bagaimana keinginan-keinginan membakar menyulut ketercapaian. Bagaikan terbakar matahari ditengah gurun. Darahpun syukur sebagai pelega.<br /><br />Disisi lain kau terlalu paham arti cinta. Tentang kejujuran, tentang ketulusan, tentang menghargai, tentang menghormati, keadilan, perdamaian, soal-soal pemerataan, soal-soal kekejaman, soal-soal kediktatoran, dan sampai mampu merangkum kedalam unsur-unsur keindahan. Menjadikan wujud diri sejati. Seolah telah mampu menyelesaikannya.<br /><br />Tetapi kemelut mendorong gelora, cinta cuman pahatan lambang terpampang dalam dada. Buih-buih disudut-sudut bibir. Serta uap napas penuhi udara.<br /><br />Dalam cuaca seperti ini, jika kau membuka jendela katakan pada matahari pertama dan katakan pula pada burung-burung kecil yang hinggap didahan bunga halamanmu. Bahwa kutitipkan segala rindu, rindu memetik bunga segar yang tak tumbuh oleh tatapan hampa. Juga tanyakan pada embun yang segera beranjak pergi.<br /><br />Dilangit mana berarak berubah awan. Adakah kita bersulang diperjamuan itu...?</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-3666174388000367542009-05-18T12:52:00.005+08:002009-05-18T13:02:03.969+08:00Dari Rumah Leak di Sanur Itu<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas</a><br /><br />“AKU pulang,” ujarnya senja itu. Dia, Godam sahabatku, datang ke rumah kontrakanku di pinggir kota di atas tebing kali itu. Rambut gondrongnya terlihat lebih rapi dan mengkilat, seperti biasa dibiarkannya terurai melewati pundak. Kemejanya masih berwarna hitam. Celananya masih jeans. Sepatunya masih chiko. Dan, dua cincin perak berukir naga di telunjuk, tiga di jari tengah serta dua di jari manisnya masih juga bertengger.<br />Dia berdiri saja di halaman. Aku menolehnya sepintas lalu saling tertawa seperti yang biasa kami lakukan setiap bertemu.<br />“Kenapa pulang?”<br />“Ada teman membeli seratus lukisanku di Bandung. Hanya untuk hiasan di dinding hotelnya. Hanya hiasan,” jawabnya datar.<br />“He he he. Artinya kamu sedang banyak uang.”<br />“Ya, lumayan. Aku mau bikin studio di Ubud. Aku juga boyong anak-anak dan istriku. Besok kami sudah ke Ubud.”<br />“Baguslah. Nanti aku bisa mampir ke situ.”<br />Kami lalu ngobrol hal-hal lain.<br /><br /><span class="fullpost">ITU pertemuan kami terakhir tiga tahun yang lalu. Selanjutnya kami tak saling mengontak lagi. Kabar yang kudengar tentangnya pun tak pernah jelas. Ada teman mengatakan dia pindah ke Sanur. Ada yang bilang dia kost di Denpasar. Ada lagi yang bilang ke Surabaya. Ada yang membawa kabar dia sudah bercerai dengan istrinya. Terakhir, seorang teman lagi mengatakan dia kini menekuni semacam ajaran spiritual tertentu. “Dia sekarang rajin semadhi dan menekuni lontar kuno,” demikian teman itu.<br /><br />Untuk kabar yang terakhir ini pun, aku masih tak menanggapinya serius. Aku tahu betul watak dan perilaku Godam yang pembosan. Sejak kami masih di bangku SD dia juga sudah sering berperilaku aneh-aneh agak mendekati mistik. Saat itu dia sering mengaku bisa melihat mahluk halus yang di daerah kami disebut wong samar, terutama bila kami sedang bermain di kali, di bukit-bukit atau di kebun orang mencari ranting bambu untuk bedil-bedilan. Aku sendiri saat itu tak pernah risau atau merasa takut dengan omongan atau perilakunya itu. Soalnya aku tak pernah percaya.<br /><br />SIANG itu, seorang teman yang punya kios koran datang ke rumahku. Aku sedang di studio mengerjakan sebuah logo pesanan suatu perusahaan yang baru berdiri di kota kami. “Bacalah! Macam beginilah sebagian besar koran-koran lokal kita sekarang. Klenik dan mistik bisa menjadi lebih penting dan mendapat porsi lebih besar daripada persoalan-persoalan mendasar di masyarakat. Pembodohan!” katanya bersungut-sungut seraya melemparkan sebuah koran ke mejaku.<br /><br />“Tak apa toh? Bisa jadi memang itu yang lebih disenangi pembaca dan membuat korannya laris,” aku menanggapinya tanpa menyentuh koran itu. Aku tetap suntuk pada komputerku.<br />“Tapi yang ini beritanya sudah keterlaluan. Wartawannya juga tampak seperti memaksa menggiring pembaca untuk memfonis seseorang,” teman itu masih berkata keras.<br />“Memang ada apa?”<br />“Bacalah sendiri!”<br />Aku menoleh juga ke koran itu. Aku lihat sebuah headline yang ditulis dengan tinta merah. “Ditemukan Rumah Leak di Sanur” – demikian bunyinya.<br /><br />“He he he. Menarik juga. Aku baca nanti saja, ya?”<br /><br />“Kemarin siang di TV juga ada berita ini,” sambungnya lagi.<br /><br />“TV yang mana?”<br /><br />Dia menyebut sebuah stasiun televisi lokal di daerah kami.<br />“O ya?”<br /><br />“Leak yang menempati rumah itu konon bernama Godam,” ujarnya lagi lebih semangat.<br />“Heh?”<br /><br />“Sudahlah. Baca sajalah beritanya nanti di situ. Aku mau pulang,” teman itu mendadak pulang. Mungkin dia jengkel melihat aku tak bereaksi atas kabar yang dibawanya. Padahal, ketika dia menyebut nama itu tadi aku memang agak kaget.<br /><br />Tak lama berselang, datang lagi seseorang. Dia langsung masuk ke studio, berdiri agak jauh di belakangku. Aku tak memperhatikan, pun menyapanya. Teman-teman memang sudah biasa datang seperti itu.<br /><br />“Aku pulang lagi,” suara itu seperti menyengatku.<br />Spontan aku menoleh. Nyaris aku tak mengenalinya. Godam! Ya, Godam! Tapi sekarang dia begitu kurus dan kumal. Rambutnya yang panjang terlihat lengket karena jarang dikeramas. Dia hanya mengenakan kaos oblong putih yang sudah robek lengan kanannya dan mengenakan kamben dari kain hitam kasar yang juga sudah teramat kumal. Aku terpaku di tempat dudukku tanpa bisa berkata sepatah pun. Mungkin saat itu aku juga lupa berkedip.<br /><br />“He he heh. Aku pulang,” ujarnya lagi disertai suara tawa panjang agak berat. Tiba-tiba aku merinding. Beberapa saat aku bingung dan masih tak mampu mengucapkan sepatah kata untuk menyapanya.<br /><br />“Aku minta kopi,” lanjutnya masih diiringi ketawa ganjil sambil mengambil rokokku di sebelah monitor komputerku. Tangannya tampak gemetar dengan urat-urat dan tulang yang menonjol.<br /><br />“Ya. Ya. Duduklah,” aku gugup.<br /><br />Sambil membuatkannya kopi, dengan tergesa-gesa aku baca berita headline koran tadi yang diam-diam aku bawa ke dapur.<br /><br /><div style="padding: 5px 5px 5px 70px; text-align: justify;font-size:100%;"><span style="font-style: italic;">Sebuah rumah leak ditemukan di Sanur. Dalam rumah yang terletak di tanah kosong dekat pembuangan sampah tersebut warga menemukan berbagai benda sakral yang biasa dipergunakan untuk ritual mistik. Di langit-langitnya terpasang kain kafan dua kali dua meter yang penuh rajahan dan terdapat tanda tangan berbunyi Godam. Setumpuk lontar kuno juga ditemukan dengan rajah huruf Bali Kuno dan gambar-gambar mistik. Sementara di seluruh bagian dinding ditemukan berbagai potongan bambu yang dililit dan digantung benang tiga warna. Seluruh benda-benda tersebut tertata sedemikian rupa, sehingga sangat meyakinkan sebagai tempat pemujaan setan atau tempat memperdalam sekaligus mempraktekkan ilmu pangleakan.<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">Aparat kepolisian yang turut menggeledah, saat ini sudah menyegel rumah tersebut dan memasang police line serta berjanji akan mengusut pelakunya yang diduga bernama Godam. Sementara itu, pemilik asli tanah sekaligus rumah kosong tersebut, mengatakan tak tahu menahu jika rumahnya dipakai sebagai sarang leak. Dia hanya mengaku pernah melihat seorang lelaki kurus berambut panjang sering keluar-masuk rumah kosong yang dulunya dipakai sebagai bedeng penampungan buruh bangunan saat dia membangun losmen. Saat itu dia pikir bahwa lelaki tersebut mungkin orang stress atau orang gila.<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">Sampai berita ini diturunkan, Godam yang tak jelas asalnya itu belum ditemukan. Namun pemilik asli rumah telah membuat perjanjian dengan pemimpin dan masyarakat adat setempat, bahwa jika dalam dua minggu sejak hari ini rumah tersebut tidak dikosongkan, maka segala isinya akan dimusnahkan atau dibakar. Sementara itu pula, beberapa sumber dari lingkungan sekitarnya mengaku memang sering mendengar lolongan anjing dan suara tangis bayi di tengah malam dari rumah tersebut...<br /><br /></span></div>Demikian secara garis besar aku baca berita yang menjadi headline koran itu. Tentu saja masih sebagian besar lagi paragrafnya penuh dengan kalimat-kalimat sensasional, yang mampu menggiring pembaca untuk percaya dan meyakini bahwa rumah itu memang rumah leak atau sarang mistik.<br /><br />Tanpa tahu alasan yang jelas, aku jadi tersenyum sendiri di dapur.<br /><br />“Ke mana saja kamu selama ini?” aku bertanya setelah dia menyeruput kopi yang kusuguhkan.<br /><br />“Heh? Aku sempat tinggal di beberapa tempat. Terakhir, di Sanur,” sahutnya masih dengan tawa panjang yang tak begitu enak didengar. Aku tertegun. Berarti dia belum tahu berita di televisi lokal dan koran itu. Sejenak aku kembali kehilangan cara untuk membuat obrolan kami menjadi lebih akrab.<br /><br />“Ya, seperti aku bilang dulu, aku sempat membuat studio di Ubud,” sambungnya kemudian.<br />“Tapi hanya beberapa bulan, lalu aku pindah ke Denpasar. Ada teman yang mengajakku mengerjakan mural di Surabaya. Sementara teman itu juga meminjam beberapa lukisanku yang katanya akan dijual untuk seseorang dari Belanda. Di Surabaya aku hanya dua minggu. Entah mengapa, perasaanku ingin pulang saja. Ketika pulang ke Denpasar, ternyata istriku sudah meninggalkan rumah beberapa hari sebelum aku tiba. Anak-anak kami dititipkannya di tetangga. Aku bingung dan sempat kacau terutama melihat keadaan anak-anakku. Mereka lalu aku bawa pulang ke sini dan aku titip ke orang tuaku. Kemudian aku menghubungi teman yang dulu meminjam lukisan itu. Aku memintanya agar diantar ke tempat di mana dia menaruh lukisan-lukisanku. Aku dijemputnya. Tapi ternyata aku dibawa ke sebuah bedeng tempat buruh-buruh bangunan di Sanur. Di sana tinggal dua belas orang buruh yang menggarap proyek teman tadi. Karena aku tak punya uang, terpaksa aku ikut tinggal di sana.”<br /><br />“Suatu hari, ketika aku pulang dari suatu tempat, seluruh buruh-buruh itu sudah pergi. Dan mereka ternyata juga membawa beberapa barang serta pakaian-pakaian milikku. Aku bingung lagi. Dan teman itu juga tak pernah muncul lagi.”<br /><br />“Aku berkali-kali menghubungi teleponnya, tapi tak pernah dijawab. Sementara uangku sudah habis. Aku akhirnya memutuskan tetap tinggal di rumah itu untuk menunggunya. Aku marah. Kecewa. Putus asa,” dia meneguk kopi dan menyulut sebatang rokok lagi.<br /><br />“Sekian bulan teman itu tak juga muncul. Sementara listrik dan air di rumah itu sudah diputus karena aku tak mampu membayarnya. Berbulan-bulan dalam kesepian, tanpa bekal dan uang sepeser pun, tanpa lampu, tanpa air karena entah kenapa suatu hari ada orang memasukkan bangkai anjing ke dalam sumur bekas yang sebelumnya ada di situ, aku nekat tetap tinggal dan menunggu teman itu menjemputku untuk mempertanggungjawabkan lukisan-lukisanku yang dulu dipinjamnya. Aku juga berusaha mencari pekerjaan, tapi tak pernah berhasil.”<br /><br />“Selama itu kamu makan apa?” aku menyela.<br /><br />“Beberapa bulan pertama aku hanya makan bayam, buah terong liar dan buah pisang yang kebetulan ada di sana. Satu tandan pisang bisa aku jadikan persediaan hingga dua atau tiga minggu. Lalu entah bagaimana awalnya, sesekali mulai ada teman-teman lama yang datang. Mereka kadang-kadang memberiku uang sedikit. Aku membeli ubi. Sehari aku makan satu ubi yang aku bakar dengan sampah-sampah di sana. Air minum aku dapat dari sebuah kafe yang tak jauh dari tempat itu. Aku menukar sebotol dua botol air mineral dengan membuatkan mereka ornamen bingkai untuk daftar menu hidangan atau menu acara mereka setiap malam minggu.”<br /><br />“Aku berusaha menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang kafe itu, berharap aku diterima sebagai karyawannya. Tapi mereka tak percaya kalau aku orang waras. Mereka menganggap aku orang setengah gila yang bisa melukis. Itu saja. Mereka tak percaya aku waras karena melihat pakaianku yang kumal dan bau. Saat itu memang hanya tersisa satu celana jean belel, satu celana pendek dan dua buah kaos oblong. Berbulan-bulan aku tak pernah mandi dan mencuci dengan sabun.”<br /><br />“Kenapa kamu tak pulang saja?” aku memotongnya lagi.<br /><br />Pertanyaan ini membuatnya terdiam. Lama aku menunggu, tapi dia seperti tak mau bicara lagi. Aku jadi merasa bersalah.<br /><br />“Selama itu kamu hanya hidup seperti itu saja? Hanya diam saja di rumah itu?” akhirnya setelah dia masih terdiam cukup lama aku kembali bertanya.<br /><br />“Oh, tidak!” dia langsung menyergap pertanyaanku itu. “Kesepian, kegelapan dan kemiskinan itu akhirnya lama-lama aku nikmati. Aku pikir sekalian aku melakukan tapabrata sebagaimana jaman dulu orang bertapa di hutan. Aku justru menggunakan kesempatan itu untuk menggali-gali imajinasi yang ada di kepalaku. Dengan meditasi sederhana setiap hari, aku menggali-gali, mengingat lalu mengkristalisasikan kepingan-kepingan teori ilmiah yang aku dapat di kuliah seni rupa ITB dulu. Aku menemukan sepotong kain putih bekas di tumpukan kayu bekas bangunan. Aku melukisinya dengan arang dicampur getah pohon jarak berupa ornamen-ornamen rajah Bali yang memang aku minati sejak masih kuliah. Dengan sedikit sisa uang dari teman-teman yang sesekali datang, aku membeli daun lontar dan jarum, karena tak mungkin membeli kain atau kanvas apalagi kuas dan cat. Di daun-daun lontar itulah aku melukis dengan jarum. Lama-lama aku semakin akrab dengan rajah-rajah itu. Sesekali aku sembahyang meminta ijin Dewi Saraswati dan leluhurku untuk memindahkan huruf-huruf rajah itu menjadi bentuk-bentuk rupa di atas daun lontar yang bisa kupetik di sekitar tempat itu. Rajah-rajah itu aku pindahkan ke daun lontar sekemampuan imajinasi dan kontemplasiku. Di samping itu, bambu-bambu sisa bangunan yang berserakan di tanah kosong itu juga aku jadikan media meditatifku sekaligus untuk melupakan rasa lapar. Aku lilitkan benang merah, kuning dan hitam dengan pola perhitungan yang aku ciptakan sendiri. Aku menemukan ranting dan dedaunan kering, juga aku jadikan media yang sama. Suatu hari aku menemukan sebutir kelapa busuk bekas sesajen di tumpukan sampah. Ketika aku tuangkan isinya yang busuk itu, aku melihatnya ada unsur minyak di sana. Minyak dari kelapa busuk itu lalu aku olah dengan arang dari kayu tertentu untuk proses menghitamkan lontar yang telah aku rajah.”<br /><br />“Dua tahun lebih itu aku lakukan. Memasuki tahun ketiga, di awal bulan ini, tiba-tiba aku merasa menemukan sebuah konsep untuk karya-karya itu. Bahwa semua itu bisa menjadi sebuah instalasi meditatif dari perjalanan hidupku sendiri. Aku lalu menyusun ulang seluruh benda-benda itu. Dan hari itu, aku merasa semuanya sudah selesai. Aku tiba-tiba begitu merindukan anak-anakku yang tak pernah aku jenguk sekali pun. Aku memutuskan pulang. Dengan uang pemberian seorang teman aku bisa pulang. Sudah seminggu lebih aku di sini. Sekarang aku memutuskan untuk mengurus sendiri anak-anakku. Yang paling besar ternyata sekarang sudah kelas dua SD,” dia berhenti sambil menarik nafas panjang seperti ingin mengeluarkan sesuatu dari dalam dadanya.<br /><br />Aku memejamkan mata. Tak tahu apa lagi yang harus aku tanyakan atau diobrolkan dengannya. Kami tetap sama-sama diam sampai hari telah menjadi sore dan dia pulang dengan langkahnya yang agak gontai. Entahlah, aku lupa untuk mengantarnya dengan motorku.<br /><br />Baru saja aku mau mandi, tiba-tiba aku dengar anak tetangga sebelah berteriak di rumahnya. “Rumah leak dibakar! Rumah leak dibakar! Di TV ada rumah leak dibakar!” Aku kaget dan langsung menghidupkan televisi. Ya, dalam siaran berita sebuah televisi lokal, aku lihat sekelompok massa di suatu kawasan di Sanur sedang mengobrak-abrik sebuah rumah kecil kumuh di atas sebidang tanah kosong. Aku lihat orang-orang membongkar rangkaian bambu penuh lilitan benang merah kuning hitam, orang-orang membakar selembar kai putih penuh rajah, orang-orang meludahi setumpuk daun lontar yang juga sudah sebagiannya dibakar, aku melihat orang-orang menghancurkan sebuah tempat sembahyang sederhana, aku melihat police line yang sudah berantakan, aku melihat orang-orang berteriak kalap...<br /><br />Tanpa pikir panjang aku mengambil sepeda motor menuju rumah Godam.<br /><br />Seseorang yang kutemui di gang depan rumah orang tua Godam memberitahuku bahwa sahabatku itu sekarang tinggal di rumah kecil di halaman belakang. Aku berjalan kaki karena lorong sempit menuju rumah kecil itu tak cukup untuk dilewati sepeda motor.<br /><br />Begitu tiba di ujung lorong, aku melihat Godam keluar dari kamar mandi menggendong kedua anaknya yang berteriak-teriak gembira. Aku memutuskan untuk berhenti di sana, memperhatikannya dari jauh. Dia tak melihat kehadiranku. Aku lihat dia mengenakan pakaian kepada anak-anaknya, menyisir rambut anak-anaknya yang lalu duduk dengan tertib di sebuah balai-balai bambu di emper depan rumah itu. Lalu dia masuk ke sebuah bilik kecil. Sejurus kemudian dia keluar membawa dua piring berisi nasi untuk anak-anaknya. “Pakai garam saja, nak, ya?” ujarnya yang segera ditanggapi dengan anggukan senang kedua anak kecil itu.<br />Saat itu juga aku berbalik. Aku pulang saja. Dalam perjalanan pulang itu aku menangis. Aku terbayang sebuah kata indah: kesenian...</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-82947563990597485422009-05-18T11:34:00.003+08:002009-05-21T10:59:23.464+08:00Jejak-Jejak dalam Kata<div style="text-align: justify;"><a href="http://catatankecil-wendrawijaya.blogspot.com/">Oleh: Wendra Wijaya<br /><br /></a>Tanah basah hujan pertama senja itu kembali membumbungkan ingatanku akan dirimu. Kembali menciptakan jejak-jejak sang pejalan jauh. Ia tetap mengada, meski tersimpan rapi di balik peraduannya.<br /><br />Hari ini, hari yang kesekian, kembali aku mencari jejak-jejak dalam kata itu. Sebuah isyarat keberadaan sang pejalan jauh yang kini tak lagi pernah kutemui.<br /><br />Sungguh, ia begitu misterius. Menyimpan rapi rahasia keberadaannya di tempat yang entah. Di sebuah masa dimana dunia tak berbatas, tetapi tetap terasing. Di sebuah masa dimana ruang-ruang semakin padat, (mungkin) tanpa menyisakan sepatah kata di dalam keheningan hatinya.<br /><br /><span class="fullpost">Barangkali, ia telah meninggalkan jejak-jejak itu. Barangkali juga, ia telah meninggalkan sepucuk surat yang akan mengantarkanku kembali ke peraduan hitamnya. Bercengkrama, menjalin sebuah rasa dalam setiap perbedaan yang ada.<br /><br />Aku dan secuil hatiku masih menyisakan satu ruang untuknya. Sebuah ruang yang tetap terkunci, terjaga dan mengada di kedalaman hatiku. Ya, aku ingin tetap menjaga ingatan tentang dirinya, meski hanya melalui sepatah kata dan sebait doa.<br /><br />Setelah tanah basah hujan pertama senja itu, ijinkan aku tetap melangkah. Berusaha mencari bayang-bayang yang semakin jauh meninggalkanku….</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-14591874778321880262009-05-17T19:38:00.001+08:002009-05-17T19:40:26.248+08:00Menempuh Waktu<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com">Oleh: Nanoq da Kansas</a><br /><br />ketika usia jadi ruang tunggu senyap nan kaku<br />waktu tak pasti<br />perasaan tak menjanjikan apa-apa<br />: aku terlempar lagi dalam kerinduan padamu<br /><br />dunia<br />seperti cermin tua tak jernih lagi<br />dan patah-patah<br />tiba-tiba memantulkan seraut wajah<br />seseorang yang baru saja belajar bersisir sendiri<br />pada masa di mana ia mulai tersipu-sipu<br />melihat bayangan dirinya telanjang.<br /><br /><span class="fullpost">-alangkah menyenangkan wajah nakal-<br />gumamku suatu ketika di cermin itu,<br /><br />waktu menjadi tak pasti<br />sesaat merayap bagai cecak kurus dan merana<br />mengendap-endap mencoba bertahan<br />di sela-sela baju kotor yang tersisih<br />di dinding<br />bagai kecoa terseok-seok<br />di kaleng-kaleng bekas kehilangan bentuk<br />di sepanjang lorong-lorong, pantai, trotoar<br />parit, kali, rel kereta api<br />stasiun bus, pedagang kaki lima<br />rumah-rumah pelacuran, kantor, lipatan dasi<br />sepatu, kaos kaki<br />sampah-sampah yang tak selesai dibakar<br /><br />waktu menjadi tak pasti<br />sesaat berlari<br />melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata<br />meninggalkan luka-luka dan memar<br />di sekujur tubuh yang mulai membiasakan diri meniru<br />binatang-binatang peliharaan<br />berciuman di jalan-jalan umum<br />di pusat-pusat pertokoan<br />dengan bangga dan sepenuh cinta<br /><br />o, apa lagi<br />yang harus aku rahasiakan di sini?<br />aku tak merasa perlu tak mengatakannya<br />sebab semuanya telah membangkitkan kembali<br />kerinduanku padamu<br /><br />engkau pernah tak menangis<br />tetapi pucat dan gemetar mendengar mimpi-mimpi<br />yang ingin kujadikan kenyataan<br />betapa aku lupa memandang wajahmu lebih seksama saat itu<br />satu hal yang akhirnya harus aku sesali<br />setiap kali aku ingin melukis dirimu<br />di setiap permukaan air yang kutemui<br />ketika waktu berlari<br />betapa cepat segalanya berlari<br />jalan-jalan raya yang megah<br />berita-berita, sanak saudara semuanya berlari<br />dan aku tak pernah dapat mengejarnya<br /><br />tiang-tiang listrik berlari<br />mendahuluiku tiba di bukit-bukit<br />sebelum sempat kuperingatkan burung-burung<br />agar paham dan menepi<br />jeritanku pun tak sekuat yang pernah aku duga<br />betapa gemuruhnya suara-suara<br /><br />pohon-pohon yang terbanting<br />beradu dengan tangis hutan yang setiap hari<br />merasa kehilangan sesuatu<br />siapa sih pencurinya?<br />kenyataan-kenyataan diam dan kaku<br />membentur tembok-tembok<br /><br />wahai tembok-tembok!<br />tembok-tembok tak pernah aku duga bisa berlari<br />lebih cepat dari mahluk-mahluk berkaki<br />aku kehilangan arah<br />seperti seseorang yang<br />memegang gagang telepon umum<br />pada saat ia tak tahu harus bicara dengan siapa<br />sementara nomor-nomor tersambung sendiri<br /><br />halo, di manakah engkau?<br />sudah membaca beritakah engkau hari ini?<br />aku membaca iklan saja<br />aku menyukainya<br />sebab iklan lebih memberi harapan<br />daripada membaca berita-berita buruk<br />yang kadangkala berakhir dengan timbulnya<br />kebencian kepada siapa-siapa<br />dan berita buruk pun<br />telah berlari dari segala macam penyelesaian<br /><br />membaca iklan juga lebih masyuk<br />daripada membaca karya-karya para penyair.<br />paling tidak, iklan tak memerlukan otak dan rasa<br />seperti halnya membaca sebuah puisi<br />yang seringkali membuat kita terjungkal<br />dari tidur nikmat<br />puisi terlalu merepotkan<br />dan berbahaya<br /><br />-berperanglah! berperanglah sampai jemu<br />biar ada kerjamu yang berarti! – inilah iklan<br />yang paling aku suka<br />di mana setelah membacanya<br />aku dapat merasakan dan memahami bahwa sesungguhnya<br />setiap orang adalah calon seorang pahlawan<br />dengan perasaan seperti ini<br />aku jadi lebih bisa menghargai dan menghormati sesama<br />niat yang pada mulanya ingin menyalah-nyalahkan orang<br />seketika sirna<br />dari setiap wajah akhirnya dapat kutangkap<br />cahaya keakraban<br />kemesraan dalam mencari kesempatan<br />untuk lebih dulu menikamkan belati<br /><br />aku juga paling suka iklan kematian<br />– telah mati dengan gagah:<br />nenek moyang – buyut – kakek – bapak<br />paman – suami – kakak – ipar – adik kami!<br />semoga tuhan...<br /><br />o, alangkah mulianya kematian<br />sebuah kesempatan di mana segala kesalahan<br />kekeliruan dan penyesalan berakhir<br />segala kecantikan, kecurangan<br />angan-angan dan cita-cita berakhir<br />segala kebencian berakhir<br />di mana segala-galanya berakhir<br />alangkah mulianya kematian<br /><br />kalau aku mati<br />biarlah mati seperti aliran listrik yang putus<br />pada saat televisi menyiarkan<br />pertarungan tinju kelas berat<br />biar orang-orang untuk terakhir kali<br />masih sempat memaki<br />mengumpat dan melampiaskan<br />segala beban hatinya yang menggumpal<br />biar orang-orang untuk terakhir kali<br />sempat merenungkan kembali<br />apa-apa yang dikira telah beres<br />kematian seperti ini<br />tentu tak terlalu buruk<br />untuk diiklankan atau diberitaacarakan<br />atau diagendakan dalam kalender kerja<br /><br />waktu menjadi tak pasti<br />dan aku terlempar dalam kerinduan padamu<br />terkutuk sebagai seorang anak nakal pongah dan kacau<br />dan sekarang sedang belajar menjadi santun<br />di tengah-tengah suara gemuruh<br /><br />tunggu!<br />jangan kau kira aku sedang putus asa<br />aku biasa-biasa saja<br />bahwa aku sedang mencoba belajar santun<br />dengan satu cara<br />yang tak akan mengganggu siapa-siapa<br />: aku sedang menertawakan diri sendiri.<br /><br />menertawakan diri sendiri<br />kaleng-kaleng bekas yang aku tendangi<br />di sepanjang trotoar, rel kereta api, stasiun bus<br />kali, parit, pantai, rumah-rumah pelacuran<br />juga menertawakan dirinya sendiri<br /><br />kenapa mereka hanya menjadi kaleng-kaleng bekas<br />di situ?<br /><br />begitu jauhkah bedanya dengan<br />botol-botol bekas parfum, bekas anggur<br />bekas pinisilin, bekas endrin<br />yang terpajang anggun di etalase selebritis?<br />seorang naturalis tentu akan melukis semua ini<br />lalu memberinya judul life style<br />kemudian pemilik galeri akan memasanginya<br />harga sebanding status sosial pembelinya<br />sementara si pelukis<br />terpeleset oleh sakit maag di masa muda<br />dan mayatnya nyasar<br />menjadi kaleng-kaleng bekas yang kutendangi<br />di sepanjang trotoar waktu<br />oh!<br />aku jadi ingin menelepon engkau untuk hal ini<br />tapi aku telah lupa nomor-nomor<br />yang kau katakan dulu<br />seseorang telah mengambilnya diam-diam<br />dari bilik jantungku ketika aku muntah-muntah mabuk<br />karena tak begitu tahan berdesakan<br />di pintu-pintu bus kota<br />pintu-pintu kereta api, pintu taksi<br />pintu supermarket<br />pintu hati para pelacur<br />pintu segala pintu<br />aku tak tahu entah untuk apa<br />angka-angka itu diambilnya<br />barangkali ia jatuh cinta padaku<br />atau angka-angka itu telah dijualnya<br />di pasar-pasar modal yang dihuni<br />orang-orang pintar berspekulasi<br />mempertahankan hidup dengan angka-angka<br /><br />baiklah. aku kira ini<br />tak perlu terlalu dirisaukan<br />dengan kehilangan angka-angka itu<br />aku jadi merasa diriku<br />telah pernah menjadi seorang dermawan<br />dan tanpa menelepon engkau pun<br />nyatanya aku mampu merindukanmu lebih sempurna<br />tapi pernahkah engkau juga merindukan aku?<br />astaga! engkau tak menjawab pertanyaan yang kutulis<br />dalam setiap naskah cerita pendekku<br />: bahwa masihkah engkau menari?<br />masih? tentu saja.<br />tapi tentunya ini juga merupakan saat-saat<br />yang sulit bagimu<br />sebab aku ingat<br />engkau tak dapat lagi menari di kampungmu sendiri<br />meskipun engkau tak perlu dibayar<br />tak seorang pun akan punya waktu<br />menontonmu<br />engkau harus menari di luar negeri sekarang<br />jika ingin ditonton dan dihargai<br />iya, kan? iya,kan?<br /><br />sepanjang trotoar waktu<br />aku tendangi kaleng-kaleng bekas<br />suaranya gemuruh melengking-lengking<br />menertawakan dirinya sendiri<br />sesekali terbentur pada tiang-tiang<br />atau rambu-rambu.<br />o, ya, ini adalah kesenangan baruku<br />kaleng-kaleng bekas itu ketika membentur<br />akan cukup untuk menarik perhatian<br />orang-orang yang kaku dalam penantiannya<br />beberapa saat mereka akan menoleh<br />dan yakin bahwa sebenarnya akulah yang gila<br />bukan mereka<br />bukan mereka!<br /><br />engkau pikir untuk menjadi gila sama mudahnya<br />seperti berkenalan dengan hamburger atau pizza?<br />nanti dulu!<br />menjadi gila juga memerlukan<br />keberanian dan keuletan yang tak sepele<br />salah langkah engkau bisa terperangkap<br />dimasukkan ke rumah sakit jiwa.<br />tapi ini masih lebih beruntung<br />daripada engkau terjaring lsm atau lembaga ham<br />sebab di sana engkau akan menjadi objek<br />penyaluran rasa belas kasihan atas nama masyarakat<br />maukah engkau dikasihani terus-menerus?<br /><br />dalam kegilaan waktu menjadi tak pasti<br />setiap tarikan napas<br />berarti usaha untuk tak terperangkap<br />setiap kedipan mata<br />berarti perjuangan hitam dan putih<br />seperti permainan sepak bola<br />orang-orang menendang, mengejar, mengganjal<br />menangkap dan berusaha menguasai permainan<br />kalau engkau beruntung<br />sempat menggiring bola dan membobol gawang<br />engkau akan menjadi bintang<br />engkau dirangkul, digotong keliling arena<br />tapi jika permainanmu jelek dan banyak kesalahan<br />maka engkau di-kartu merah<br />dikeluarkan dari arena<br />maka jadilah engkau semacam ban serep<br />pada sebuah truk pengangkut barang<br />sebuah ban yang digantung begitu saja<br />tidak ikut berputar<br />tapi ikut kecipratan<br />apabila truk melindas lumpur atau tai<br /><br />aku tak bisa bermain sepak bola<br />maka aku tendangi kaleng-kaleng bekas<br />yang kehilangan bentuk di sepanjang trotoar waktu<br />di sampah-sampah yang tak selesai dibakar<br /><br />waktu menjadi tak pasti<br />sesaat berlari<br />melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata<br />menjelmakan kaleng-kaleng bekas<br />dan dari sudut ke sudut jalan<br />aku hindari seluruh kesangsian<br />bahwa aku sedang menempuh waktu<br />pulang ke pelukanmu</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-83778155762320121862009-05-17T19:36:00.000+08:002009-05-17T19:38:06.473+08:00Bah<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas</a><br /><br /><span style="font-style: italic;">suaramukah yang datang padaku<br /></span><span style="font-style: italic;">merambat dari angin, dalam cahaya<br /></span><span style="font-style: italic;">tergenang embun di bibir kelopak bunga?<br /><br /></span>ah, aku mengigau<br />menggapai-gapai benang terentang<br />di antara tempurung kepala dan jiwaku<br />menggapai-gapai tepian<br />di antara hasrat dan penolakanku<br />:aku rindu padamu ...<br /><br /><span class="fullpost">di luar, pagi pecah<br />berserakan jadi daun-daun kering dan jatuh<br />dari jendela, kulihat tubuhku gemetaran<br />memegang sapu hitam dan angker<br />menggorek-gorek sampah yang selalu saja tersisa<br />plastik-plastik, debu-debu<br />kertas-kertas koran yang tak terbaca<br />surat-surat cinta yang merana dan menggigil<br />kamus-kamus yang senantiasa tak terpahami<br />kulit-kulit pohon yang mengelupas<br />semuanya berwarna hitam<br />sehitam sapuku<br />dan ketika semuanya kubakar<br />asap itu pun berwarna hitam<br />berbau hitam: d a r a h!<br /><br />darah siapakah yang mengalir sepagi ini?<br />aku ingin mengadu,<br />: aku tak membunuh!<br />aku sungguh-sungguh tak membunuh siapapun!<br />hari ini alangkah inginnya aku berdamai<br />alangkah inginnya aku diam<br />tapi aku telah melihat bom-bom berjatuhan<br />dan salah perhitungan tentang sasarannya<br />aku telah melihat<br />pestisida, insektisida, fungisida<br />diam-diam menyelinap ke setiap pori-pori udara<br />aku telah melihat cairan-cairan aneh<br />meresap dan bergolak ke rahim bumi<br />wahai! kenapa semua jadi punya hasrat bunuh diri?<br /><br />sepagi ini kita telah bertengkar<br />: tentang nasib, kita tak bisa bicara! – ujarmu<br />aku mau mengalah, tapi korban terlanjur banyak<br />siapa yang mesti aku percayai?<br />terus terang saja, pada diri sendiri pun<br />aku acap kali tak percaya.<br />aku tak percaya ada hukum yang punya hati dan jiwa<br />aku tak percaya ada hukum yang bijaksana<br />seperti mereka yang telah merancang dan menulisnya<br />sebab hukum seperti sapu hitamku<br />: hitam dan angker<br />dan ketika hukum itu jatuh di alengka, kurusetra<br />hiroshima, tian an men, bagdad, bosnia, yerusalem<br />santa cruz, jakarta, aceh, maluku<br />di rumah tetangga dan di kamar tidurku<br />maka sampah-sampah mengeluh<br />: aku tak bisa menghindar ..., – bisiknya pada sejarah<br />dan dari jendela aku saksikan hujan<br />tak turun pada musimnya<br />pepohonan tak berbuah pada musimnya<br />anak-anak ke sekolah tanpa bakal pemahaman<br />bagaimana semestinya mencintai dan menghayati<br />jiwa hurup-hurup dan angka-angka<br /><br />wahai! sepagi ini kita telah bertengkar<br />dengan kata-kata yang tak bisa lagi dimengerti<br />walau sepatah<br />sementara di luar jendela, aku melihat tubuhku<br />bergumul dengan jutaan bayang-bayang hitam<br />tubuhku yang telah kehilangan bentuk<br />terbanting-banting dan mengelupas<br />terakhir, aku lihat jutaan pagi dan daun-daun<br />kering berhamburan dari pecahan kepalaku<br />berjuta-juta bayangan hitam itu<br />kini sepanjang jalan menyapu dengan sapu hitamnya<br />dan segala air mata telah terbakar<br />asapnya hitam<br />berbau hitam: d a r a h!</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-26931564794241721372009-05-17T19:31:00.002+08:002009-05-17T19:33:49.583+08:00Sejarah Purnama<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com/">Oleh: Boyke SN</a><br /><br />Kubaca lalu kutulis<br />Kuhitung lalu kuhapalkan<br />Warna pelangi padanya<br />diurat-urat hujan kecil<br /><br /><span class="fullpost">Sesederhana puisi<br />Kutangkap hening<br />menggelapkan malam<br />Dan kuisi sejarah untuk purnama<br />Bercumbu paham tiap detak jantung<br />Gelora ombak seperti percintaan<br />terpendam masa lalu<br />mempertemukan wajah<br />di warna-warni<br />Seluruh arah<br />hingga dering telepon terakhir<br />menghentikan suara-suara<br />antar desa dipisah kali</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-36062191386458392242009-05-17T19:29:00.001+08:002009-05-17T19:31:17.985+08:00Di Ruang Doa<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com">Oleh: Boyke SN</a><br /><br />Angin diketuaan musim<br />dimana-mana renta<br />terseok-seok<br />sakit tiap penghujung peralihan<br />akhirnya dongeng cinta mengambang<br /><br />Seperti gulungan ombak mengayun cakar<br />mencabik jubah-jubah<br /><br /><span class="fullpost">disebuah ruang ini dialah<br /><br />warna-warna dari pantul langit<br />tiada terukur jauhnya<br />merindangi<br />dan tak pernah berpihak<br />beri hal terbaik.<br /><br />Negara, Juni 1995</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-15613685193833232702009-05-17T19:20:00.004+08:002009-05-18T13:35:04.939+08:00Musikalisasi Puisi Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa<div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;">Puisi yang baik menawarkan unsur musikal. Dan Nanoq da Kansas beserta Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa menerjemahkannya lebih riang, sederhana dan membuatkan album. Hasilnya, Komposisi Seperti Angin<br /><br /></span>SEJENAK hening, lalu lambat laun terdengar sekejap suara deru angin ditingkahi suara gemeresek. Mula-mula pelan lalu mengeras, kemudian petikan gitar menikahi suara gemeresek itu. Gesekan biola pun menyeruak untuk akhirnya membangun irama yang mengiringi lirik lagu yang berasal dari puisi karya Nanoq da Kansas berjudul Seperti Angin:<br /><br /><div style="padding: 5px 5px 5px 70px; text-align: justify;font-size:100%;"><span class="fullpost"><span style="font-style: italic;">seperti angin<br /></span><span style="font-style: italic;">kuingin bernyanyi ke setiap hati yang terluka<br /></span><span style="font-style: italic;">seperti angin<br /></span><span style="font-style: italic;">kuingin menyapa ke setiap luka yang kan datang<br /></span><span style="font-style: italic;">seperti teratai ku ingin tengadah<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">berdiri di atas lumpur<br /></span><span style="font-style: italic;">menjadi warna dunia<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">semesta mengajakku berdoa<br /></span><span style="font-style: italic;">semesta membawaku ke ibu<br /></span><span style="font-style: italic;">seperti angin aku ingin mengisi dunia<br /><br /></span></span></div>Puisi Nanoq da Kansas yang dikutip utuh ini menjadi pilihan untuk judul musikalisasi puisi Komposisi Seperti Angin yang mulai dipasarkan dalam bentuk kaset sejak pertengahan Mei 2007 lalu. Nanoq da Kansas bersama Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa yang selama ini tekun melakukan upaya musikalisasi dan disumbangkan ke dalam berbagai acara itu akhirnya mewujudkan impiannya; mengalbumkan aktivitas sajak musik ke dalam album musikalisasi Komposisi Seperti Angin ini.<br /><br />“Upaya untuk membuat album musikalisasi puisi ini memang cita-cita lama kami. Syukurlah akhirnya itu terwujud sekarang,” ungkap Nanoq da Kansas saat melakukan rekaman. Ia berharap album ini dapat menambah khasanah kegiatan berkesenian, terutama musikalisasi puisi yang belum banyak dibuatkan rekamannya. Belakangan ini memang menggeliat kegiatan musikalisasi di Bali, dan pernah dilombakan oleh sebuah stasiun TV lokal di Bali. Komposisi Seperti Angin ini salah satu kumpulan musikalisasi yang dialbumkan dalam bentuk kaset.<br /><br />Dengan dibangun dari dukungan alat musik sederhana seperti gitar, biola dan perkusi, Komposisi Seperti Angin menawarkan suatu musik sederhana dengan puisi sebagai kekuatan lirik. Karena musikalisasi berasal dari puisi yang dimusikkan, maka kekuatan puisi sebagai lirik jelas menjadi dominasi. Sekurangnya, ia sangat dipentingkan.<br /><br />“Pemilihan puisi sangat menjadi pertimbangan dalam pembuatan Komposisi Seperti Angin ini,” ujar Nanoq da Kansas. Aspek irama, penghayatan dan pemahaman puisi yang tidak terlalu jelimet adalah faktor rujukan untuk musikalisasi ini.<br /><br />Ada sejumlah puisi yang dimusikalisasi dalam bentuk album Komposisi Seperti Angin ini. Selain karya Nanoq da Kansas, juga karya puisi Issayudhi AR (Meditasi), Nyoman Tusthy Edi (Dialog Menjelang Malam), Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin), Agung Putra Khan (Kota Maksiat). Puisi-puisi tersebut secara diktif dan pemahaman memang relatif mudah dimaknai, dinikmati, dihayati dan dilagukan. Sekadar contoh adalah penyair senior seperti karya Sapardi Djoko Damono:<br /><br /><div style="padding: 5px 5px 5px 70px; text-align: justify;font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">AKU INGIN<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">aku ingin mencintaimu dengan sederhana<br /></span><span style="font-style: italic;">dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api<br /></span><span style="font-style: italic;">yang menjadikannya abu<br /></span><span style="font-style: italic;">aku ingin mencintaimu dengan sederhana<br /></span><span style="font-style: italic;">dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan<br /></span><span style="font-style: italic;">yang menjadikannya tiada<br /><br /></span></div>Atau lihat pula pilihan puisi karya Nyoman Tusthy Edy yang dibangun dari diksi sederhana:<br /><br /><div style="padding: 5px 5px 5px 70px; text-align: justify;font-size:100%;"><span style="font-weight: bold;">DIALOG MENJELANG MALAM<br /><br /></span><span style="font-style: italic;">kau tahu kemarau panjang<br /></span><span style="font-style: italic;">akan segera tiba<br /></span><span style="font-style: italic;">tiap malam kudengar jerit<br /></span><span style="font-style: italic;">angin dari jendela ini<br /></span><span style="font-style: italic;">seperti suara di dermaga jantungku<br /></span><span style="font-style: italic;">gemuruh bertalu rindu<br /></span><span style="font-style: italic;"><span class="fullpost">…………………<br /><br /></span></span></div></div><span class="fullpost">SEBUAH puisi yang baik telah mengandung unsur musikal. Sementara proses pemusikannya hanyalah lebih menegaskan bangunan irama tersebut. Atau, sebuah puisi sesungguhnyalah juga menawarkan tafsir musikalnya. “Bagi saya, musikalisasi itu adalah upaya sinergi. Ia menjadi bangunan baru dalam irama, lirik, musik, kecuali memang ada yang kita pentingkan, misalnya mendominankan puisinya,” komentar Tan Lioe Ie. Penyair yang kerap memusikalisasi puisi Umbu Landu Paranggi ini juga mengingatkan, penggunaan alat musik juga bisa menenggelamkan puisi.<br /><br />Musikalisasi puisi, menurut Tan Lioe Ie, adalah salah satu ekspresi untuk mengapresiasi puisi dan sah saja misalnya kemudian ia dibangunan sinergi baru dalam upaya pengekspresian itu. “Hanya yang menjadi pertimbangan adalah, jenis musik dan spirit puisi yang tepat untuk membuat musikalisasi itu menjadi bagus,” komentarnya.<br /><br />MUSIKALISASI Komposisi Seperti Angin memang terdengar menyinergikan unsur musik dan puisi. Lebih dari itu, ia akan menjadi sepenuhnya komunikasi musikal antara musikalisasi puisi itu dengan pendengarnya. Dan inilah yang dipersembahkan Nanoq da Kansas dan Kelompok Penyanyi Sakit Jiwa.<br /><br /></span><div style="text-align: right; font-style: italic;"><span class="fullpost">Artikel ini pernah dimuat di Majalah Seni Suardi</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-83485039179535605342009-05-17T17:37:00.004+08:002009-05-17T19:03:51.080+08:00Surat Yang Tak Pernah Dikirim Kartini<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas<br /><br /></a>ANAK-anak sedang sehat semua. Yang paling besar, lelaki yang mirip kamu, telah terdaftar di taman kanak-kanak terbaik di kota tempat tinggalku sekarang. Uang pangkalnya dua ratus ribu rupiah termasuk biaya administrasinya. Terus, uang partisipasi pembangunan gedung sekolah enam ratus ribu, bisa dicicil tiga kali dalam tiga bulan. SPP-nya tiga puluh ribu. Biaya makan bersama di akhir minggu lima ribu. Uang untuk tiga stel seragam termasuk pakaian olah raga seratus ribu. Terakhir, ongkos transportasi antar-jemput dengan mobil sekolah enam puluh ribu sebulan. Itu sudah beres semua. Cuma saya tak sempat mengantarnya saat pendaftaran. Soalnya ada pertemuan penting di tempat kerja. Waktu itu pembantu juga sedang pulang kampung. Katanya ada upacara adat. Jadi, dia diantar Mami yang kebetulan datang. Maaf, ternyata dalam buku induk sekolahnya kemudian, nama kita sebagai orang tuanya tak tercantum. Yang tercantum justru Mami sebagai wali muridnya. He he he, anak kita seperti yatim piatu saja ya? Tapi tak apa. Yang penting toh urusan sekolahnya itu sekarang sudah beres.<br /><br /><span class="fullpost">Anak kita yang kedua, perempuan mungil yang ternyata lebih cantik dari saya itu, sekarang sekotak susu sudah tak cukup lagi untuk dua hari. Tapi dia anak yang mandiri. Tidak rewel jika saya tinggal berkerja di malam hari. Dia mengerti untuk tidur sendiri, bermain sendiri, menangis lalu diam sendiri. Kecuali mandi dia masih sama pembantu. Sama saya dia jarang mau. Ia telah fasih menirukan seluruh iklan di televisi. Bisa mengangkat telepon, bahkan membuka kulkas. Saya rasa dia cerdas seperti burung pipit.<br /><br />Bagaimana keadaan kamu? Saya kangen. Kurangilah merokok. Jangan mabuk. Soalnya saya dengar sekarang kamu mulai bergabung lagi dengan gembel-gembel itu. Cobalah hentikan kebiasaan begadang. Kalau kamu sakit, saya sedih. Karena saya tahu kamu tak akan ke dokter. Kamu kan selalu kere. Jangankan ke dokter, untuk menelepon saya atau beli perangko saja kamu tak bisa menyisihkan. Makanya saya tak pernah mengharap surat kamu.<br /><br />Ya, saya rindu. Terutama bila mau tidur. Badan terasa pegal linu semua, sampai ke pangkal paha. Tapi tak ada yang bisa memijat seperti kamu. Lelaki di sekitar saya brengsek semua. Maunya cuma di sekitar pusar. Saya mual.<br /><br />Kalau sedang sedih, saya jadi benci kamu. Benci cara berpikir kamu, prinsip hidup kamu, kemiskinan kamu dan kepala batu kamu. Saya benci naluri dan bakat hidup tradisional kamu yang tak masuk akal itu. Hidup bermodal cinta, bekerja di dalam cinta. Tai kucing. Kalau badan kurang gizi, kalau anak-anak merengek minta es krim, kalau keluarga datang dan ingin mengajak jalan-jalan ke mall, kalau saudara-saudara datang dan ingin ditraktir di kentucky, tanpa uang bagaimana kita bisa aman untuk bercinta?<br /><br />Saya benci kemelempeman kamu. Argumen-argumen kamu yang sudah keropos itu. Teman-teman sekolah saya yang dulu paling kere sekarang sudah berani nyicil mobil. Tetangga-tetangga yang paling ringsek ekonominya sudah berani ngamprah rumah BTN, pasang telepon, beli kulkas atau home theatre. Tapi kamu masih selalu pura-pura tak butuh. Pokoknya saya benci cara hidup kamu. Saya perlu hidup yang layak. Layak menikmati apa yang ada. Layak memenangkan setiap kesempatan yang ada. Layak masuk surga mumpung masih hidup. Hidup kan cuma sebentar dan sekali?<br /><br />Kembali ke soal anak-anak, menurut pembantu, mereka juga kangen sama kamu. Yang laki-laki sering ngelindur menyebut-nyebut nama kamu. Kadangkala dia uring-uringan tak jelas juntrungannya. Bila saya bujuk, saya malah diusirnya, dipukulinya, bahkan tak mau diajak bicara. Yang perempuan jadi ikut-ikutan. Kalau sudah begini, saya jadi merasa terkucil. Saya jadi merasa sia-sia. Saya ingin marah.<br /><br />Apakah saya keliru mengambil langkah? Lantas saya mesti bagaimana? Apakah saya harus kembali ke kamu? Kembali ke dalam kamar sunyi kamu yang bagi saya kelewat abstrak itu? Kembali ke dalam kemiskinan kamu yang telah melempar saya ke rentangan jarak yang teramat menyakitkan antara saya dan keluarga besar saya yang modern, terpandang dan terhormat? Sementara saya sendiri kok tiba-tiba tak yakin apakah falsafah-falsafah usang hidup kamu itu akan mampu membentengi saya dan anak-anak dari ejekan zaman yang melesat ini. Saya tak yakin jika anak-anak nanti berani menghadapi kenyataan bila kamu masih saja tak bergeming dan terus memihak kepada perasaan. Sekali lagi saya yakinkan kamu: perasaan itu tak penting lagi di zaman ini. Bahkan dalam komik anak-anak pun hal yang bernama perasaan itu sekarang tak lagi disentuh.<br /><br />Belakangan ini, Mami, Tante dan Om sering datang ke tempat saya. Mereka menyinggung-nyinggung ketegasan di antara kita.<br /><br />“Kamu harus segera menentukan langkah. Jangan terlalu rumit berpikir. Ingat, kamu masih muda. Sebelum terlambat, kamu bla bla bla...,” Mami menghujamkan petuah-petuahnya seperti hendak mengeluarkan seluruh isi kepala saya.<br /><br />“Apa lagi yang kamu tunggu?” Tante mengisi giliran ceramahnya beberapa hari kemudian. “Tak ada yang bisa diharapkan dari dia. Heran. Kenapa sih dulu kamu dapat orang macam dia? Sayangi dong kecantikan kamu. Tante dengar ada boss yang tergila-gila sama kamu. Walaupun konon anak-anaknya sudah ada yang mahasiswa, kata orang dia masih gagah. Tunggu apa lagi? Kamu takut? Soal istrinya, itu kan urusannya sendiri. Yang penting jaminan masa depan kamu. Yang penting bla bla bla...”<br /><br />“Atau sekalian cari lagi yang masih bujang. Kamu tak sulit menggaet anak orang terpandang. Itu para investor asing juga kan suatu kesempatan? O ya, sebenarnya ada teman tante yang ingin kenal sama kamu. Bagaimana? Pertemuan bisa tante yang mengaturnya. Duda tanpa anak. Usahanya bla bla bla....”<br /><br />“Yang penting kamu pastikan dulu status kamu secepatnya,” Om menyambung lagi pembicaraan itu lewat telepon. “Kapan kamu mau cari pengacara? Om bisa mengantar. Om punya teman yang saudaranya pengacara. Pokoknya gampanglah.”<br /><br />Ketika suatu saat saya jelaskan kepada mereka bahwa saya akan membicarakan dulu masalah ini dengan kamu sekalian mengajak anak-anak untuk bertemu ayahnya, Tante marah. “Kamu sinting apa? Kamu mau menemuinya lagi? Di mana? Tak bisa! Itu sama dengan merendahkan martabat keluarga. Dan itu tidak sehat. Paling-paling kamu akan dirayunya dengan puisi-puisi gombalnya. Jangan mengulur-ngulur waktu. Lagi pula apa peduli kamu untuk mempertemukan anak-anak dengan dia? Kalau dia ingin ketemu, biar dia datang sendiri. Kalau dia mau mengambil anak-anaknya, kasi saja. Itu kalau dia berani. Enak saja!”<br /><br />Saya katakan pada mereka bahwa kamu tak punya alasan untuk takut menemui saya dan anak-anak. Saya katakan bahwa kamu bukan orang yang berjiwa kerdil. Kamu bukan jenis orang yang mengagung-agungkan harga diri. Saya katakan mungkin kamu sedang tidak punya uang untuk ongkos atau kamu mungkin sedang sakit. Soalnya sudah agak lama saya tak membaca ada tulisan-tulisan kamu di koran.<br /><br />Mendengar penjelasan saya itu, Om, Tante dan Mami tambah marah. Tapi aneh, kemarahan mereka dikeluarkan lewat ketawa yang ganjil dan seperti mau memecahkan kepala saya. Untung saya belakangan ini (mungkin karena kebiasaan yang saya peroleh di tempat kerja) sudah biasa bebal terhadap cemoohan-cemoohan semacam itu.<br /><br />Sekarang saya ingin kejelasan dari kamu. O, tidak. Tidak! Bukan begitu maksud saya. Bukan apa-apa. Tapi rindukah juga kamu sama saya? Bagaimana cara kamu mengatasi kesepian selama ini? Mengatasi perasaan kosong? Jangan bohong! Kamu pasti pernah merasa sepi dan butuh saya. Dan terus terang sekarang soal inilah yang menjadi kekhawatiran saya terhadap kamu. Saya khawatir kamu mencari jalan pintas. Saya tak rela. Pokoknya tak rela! Astaga, saya jadi bingung. Walaupun saya sendiri..., aduh, saya jadi malu! Masih dapatkah kamu memaafkan saya?<br /><br />Saya juga sering teringat ibumu di desa sana. Bagaimana kabar Ibu? Pernahkah Ibu menanyakan saya? Kasihan. Tentu Ibu sedih karena tak bisa melihat perkembangan cucu-cucunya yang lucu. Tolong kalau kamu sempat ke desa menengok Ibu dan Bapak, sampaikan salam saya. Ah, saya jadi merasa bersalah. Tapi apakah saya terus menerus mesti salah? Jadi saya harus bagaimana lagi? Bagaimana dan terus bagaimana? Persetan! Saya jadi kembali marah sama kamu. Ingin sekali saya membunuh kamu. Biar kamu tak pernah ada di dunia ini. Kenapa sih dulu kita bertemu? Kenapa kamu mencintai saya? Kenapa saya dulu jatuh cinta sama kamu? Kenapa anak-anak itu harus lahir dari kita?<br /><br />Benar, saya kadang-kadang ingin kamu mati saja. Biar anak-anak itu menjadi milik saya saja. Biar tak terlalu banyak mikir. Tapi itu tak boleh. Enak saja kamu mati duluan. Pokoknya kamu tak boleh mati dulu. Saya larang dulu kamu mati. Paling tidak sampai saya merasa siap untuk itu. Siap menerima kematian kamu.<br /><br />Pernah saya berpikir untuk mengajak kamu pergi sejauh-jauhnya. Tinggal di suatu tempat asing bersama anak-anak kita. Tempat yang tidak diketahui oleh siapapun, juga oleh keluarga yang senantiasa bertindak hidup kita sepenuhnya ada dalam keputusannya. Saya membayangkan itu akan cukup memberi ketenteraman. Kamu akan aman bekerja sesuai panggilan hati kamu. Saya aman dari teror dan keterkucilan atas silsilah keluarga terpandang dan modern. Keluarga yang menyerahkan martabatnya pada realitas benda-benda. Anak-anak pasti akan damai dalam pertumbuhannya yang alamiah. Tapi saya curiga lagi pada diri sendiri, akankah saya dapat bertahan dari rongrongan keraguan yang terlanjur mengakar dalam latar hidup saya?<br /><br />Saya juga teringat pada apa yang pernah kamu bilang, bahwa selama cakrawala masih bundar, selama kepercayaan terhadap hati nurani belum menyatu dengan napas, segala macam pelarian tak akan dapat menolong. Kita senantiasa akan terjebak dan menyerah dalam kepungan berbagai pendapat, berbagai kepentingan yang seringkali tak berhubungan sama sekali dengan kedaulatan hidup kita.<br /><br />Ya, kalau dipikir-pikir, keraguan saya sendirilah yang saat ini membuat saya hanya berlaku sebagai obyek pemuasan bagi obsesi ketenteraman, gengsi, bahkan naluri keberkuasaan orang-orang yang merasa telah membuat diri saya ada. Maksudnya, dulu saya sebenarnya senang ketika kamu mengajak saya tinggal jauh di luar lingkungan keluarga kamu dan keluarga saya. Sekarang saya bisa menangkap, bahwa saat itu kamu telah memberikan saya isyarat yang tegas bahwa kamu dan saya adalah sebuah lembaga yang punya kedaulatan sendiri. Waktu itu saya sempat merasa berani bangga. Berani bangga atas kamu sebagai pilihan saya. Apapun nama keadaan kita waktu itu, jujur saja, saya merasa aman. Mungkin itu yang bernama bahagia.<br /><br />Sekarang apakah saya bahagia? Aneh rasanya. Pada siapa pertanyaan ini saya pertanyakan? Dan apakah ada jawabannya?<br /><br />Tapi baiklah, terus terang, saya kadang-kadang menikmati juga keadaan saat ini. Enak juga seperti burung yang bebas. Terbang dan hinggap di mana suka. Dan...., ah, persetan! Yang terpenting adalah anak-anak. Karena saya tak akan kembali kepada kamu. Inilah keputusan saya sekarang. Saya lalukan, jalani dan nikmati yang ada dan terjadi saat ini, akhirnya adalah untuk anak-anak. Saya akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Demi (kalau bisa) kebahagiaan anak-anak. Eh, apa? Salah lagi? Habis, saya tambah bingung.<br /><br />Tapi sungguh. Saya harus bertahan. Dan kamu pun harus bertahan. Saya yakinkan: kamu tak boleh mati dulu. Anak-anak memerlukan kamu. Sebentar lagi mereka akan mulai menanyakan ayahnya pada saya. Ya, kepada saya, tidak lagi pada pembantu, pada Mami atau siapapun. Anak-anak akan menanyakan kamu pada saya.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-73631508671143537122009-05-17T17:10:00.005+08:002009-05-18T13:25:42.867+08:00Memoir Sang Jenderal<div style="text-align: justify;"><span style="font-style: italic;">(Transformasi Cerpen “Darah Itu Merah, Jenderal” Seno Gumira Ajidarma)<br /><br /></span><a href="http://teateribed.blogspot.com/">Oleh: Ibed Surgana Yuga<br /><br /></a>Hanya suara-suara tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank dan sebagainya.<br /><br />Lalu di sela-selanya ada sebuah percakapan tentang kemenangan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Suara I:<br /></span>Jenderal! Jenderal! Presiden musuh sudah tertawan!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Suara II:<br /></span>Siapa?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Suara I:<br /></span>Ribalta!<br /><br /><span class="fullpost"><span style="font-weight: bold;">Suara I:<br /></span>Orang seperti ini presiden? Hahahaha!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Suara II:<br /></span>Hahahaha!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Semuanya:<br /></span>Hahahaha! Hahahaha! Hahahaha ....<br /><br />Tawa itu begitu lama sehingga lambat-laun kedengaran aneh dan mengerikan.<br /><br />Sepanjang tawa itu, tersaji tayangan gambar beberapa orang berseragam tentara berpose bersama mayat seorang tawanan yang dipasangi topi, dan pada mulutnya dipasangi rokok, layaknya foto para pemburu berpose bersama macan hasil buruan.<br /><br />Menyusul gambar berbagai macam pembangunan fisik: pengaspalan jalan, pembuatan jembatan, bendungan, patung-patung pahlawan, jalan layang, gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya.<br /><br />Lagu-lagu kebangsaan mengiringi.<br /><br />Gambar-gambar melaju cepat, menimpa tubuh tegap seorang lelaki yang setengah berbaring di kursi malas yang panjang. Lelaki memakai piyama dan berkacamata hitam itu adalah Sang Jenderal yang tengah menikmati masa pensiunnya, masa santainya.<br /><br />Di sekelilingnya, tembok-tembok nan tinggi dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahan kaca di ujung atasnya. Hanya ada sebuah celah kecil untuk jalan masuk. Sebuah celah yang hanya cukup untuk tubuh satu orang dalam posisi membungkuk. Di luar celah sesekali terlihat beberapa tentara dari berbagai satuan, dengan senjata di tangan, mondar-mandir melakukan penjagaan.<br /><br />Beberapa saat, datang seorang tentara membawa sebatang cerutu untuk Sang Jenderal. Setelah menyalakannya untuk Sang Jenderal, orang itu memberi hormat militer, lalu pergi.<br /><br />Seiring Sang Jenderal menikmati cerutunya, seiring lagu-lagu kebangsaan yang terus mengalun, terdengar suara sebuah rekaman wawancara seorang wartawan dengan Sang Jenderal:<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan seorang prajurit sejati seperti saya, adalah perjuangan antara hidup dan mati.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Wartawan:<br /></span>Banyak anak buah Anda yang kini jadi pejabat, sedangkan Anda tidak. Ada perasaan kesal?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Kenapa harus kesal? Namanya dunia kan memang begitu. Masa’ saya harus iri?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Wartawan:<br /></span>Anak-anak Anda berbisnis?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Tak ada yang jadi tentara. Semua kerja di swasta. Yah, pengusaha kecil-kecilan. Pensiunan kan sudah tak bisa memberi fasilitas.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Wartawan:<br /></span>Mengapa tidak memakai fasilitas anak buah Anda yang kini jadi pejabat?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Ah, malu. Iya kalau dikasih. Kalau tidak? Kan malu-maluin. Walau hal seperti itu sudah lumrah di sini, tapi tidak saya lakukan.<br /><br />Ya, ada juga yang membantu, satu dua orang. Tapi kan terbatas juga. Namanya juga manusia. Sering ada yang lupa. Padahal dulu mereka ngemis-ngemis ikut saya. Setelah jadi orang, hanya memikirkan grupnya sendiri saja.<br /><br />Ya, macam itulah.<br /><br />Seorang tentara yang lain, dengan seragam dari satuan yang berbeda, datang mengahadap, menyajikkan segelas minuman untuk Sang Jenderal. Orang itu juga menghormat ala militer sebelum pergi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Wartawan:<br /></span>Waktu masih menjabat banyak sabetannya dong?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Bukan sabetan! Itu namanya take and give. Jangan katakan itu tempat “basah”. Kalau saya menentukan persentase, itu baru basah namanya. Dan saya salah. Kalau dikasih, ya terserah. Itu rezeki namanya. Kalau tidak, ya sudah.<br /><br />Demi Tuhan saya bersumpah, saya tidak pernah dan tidak akan memeras orang. Tapi kalau dikasih stick golf, ya saya terima. Terus terang saja. Ya, masa’ kalau jadi pejabat tidak dapat hal yang begitu.<br /><br />Jujur saja. Pejabat kan kayanya dari situ. Gaji kecil, tapi tip-nya yang gede.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Wartawan:<br /></span>Tip Anda banyak ketika itu?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Lho, jujur saja memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil, itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, “Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.” Ya, saya terima saja. Tidak usah malu.<br /><br />Segala sajian gambar dan suara berhenti.<br /><br />Beberapa orang tentara, dari berbagai satuan, datang menggotong kursi dan meja makan. Yang lain datang membawa beberapa porsi makanan dan minuman untuk makan siang Sang Jenderal.<br /><br />Setelah selesai segala persiapan, para tentara memberi hormat dan berlalu.<br /><br />Sang Jenderal membuka kacamata hitamnya, lalu makan dengan lahapnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Setelah makan beberapa suap) Lama-lama hidup santai seperti ini bosan juga. Tak ada gejolak apa-apa. Belakangan saya menjadi terlalu cepat marah karena kurang pekerjaan. Tepatnya, tidak pernah lagi bertempur. Tak ada konflik yang bisa diselesaikan dengan dor-doran senjata.<br /><br />Ah, betapa sepinya hidup tanpa pertempuran. Hidup terasa hambar. Tak ada yang bisa dikecap sedikit pun.<br /><br />Terus terang saja, saya memang tidak bisa hidup dalam ketenangan seperti ini. Yah, memang begitulah saya. Saya hanya merasa hidup ketika ada dalam ketegangan. Hanya dalam bahaya saya merasa tenang. Kepuasan hidup hanya bisa dicapai ketika mengalahkan musuh. Dan sejarah memang memberikan saya peran sebagai pihak yang menang.<br /><br />Sang Jenderal terus makan. Kelihatan lahap.<br /><br />Tapi pada suatu saat, ia merasa apa yang dimakannya tak memberi rasa apa-apa. Hambar. Membosankan.<br /><br />Sang Jenderal jadi gelisah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Berteriak, lebih pada dirinya sendiri) Heeeii! Sekali-sekali bikin perang dong! Biar seru!<br /><br />(Tertawa geli) Saya sudah terlanjur kecanduan situasi krisis rupanya.<br /><br />Sang Jenderal makan lagi, sambil sesekali mengeluarkan kembali tawa gelinya.<br /><br />Datang seorang tentara membawa pesawat TV, lalu diletakkannya di atas meja. Sambil mengunyah makanan, Sang Jenderal masih sempat memencet tombol remote control.<br /><br />Menyalalah TV di depannya.<br /><br />Dan berubahlah ruang itu menjadi sebuah studio TV, dengan acara sebuah talkshow antara Sang Jenderal dengan seorang presenter.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Kita semua sudah tahu, bahwa Bapak adalah seorang jenderal yang dikenal begitu gigih berjuang di medan pertempuran. Bisa ceritakan bagaimana Bapak mengawali karier kemiliteran Bapak?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Ketika saya berumur belasan tahun, saya sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan. Barangkali karena saya dinilai serius dan berjasa dalam perang tersebut, lalu saya direkrut menjadi tentara.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Momen apa yang paling mengesankan ketika Bapak berperang menghadapi musuh?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Waahhh, banyak! Banyak sekali. Tidak bisa dihitung. Bahkan saya sendiri tak bisa mengingat semuanya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Salah satunya?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Mmm .... O ya .... Tapi ini hanya salah satunya lho ya ....<br /><br />Pernah dalam suatu operasi penumpasan, pasukan saya dihajar bazooka musuh. Kepala saya kena pecahan peluru. Hampir mati saya waktu itu, tapi tidak jadi. (Tertawa geli) Setahun lamanya saya dirawat. Rasanya bosan sekali.<br /><br />Tapi lihat bekas luka di pelipis saya ini. Ia bersinar-sinar bagaikan bintang tanda jasa. Jangan salah. Tidak semua orang bisa menjadikan luka sebagai kebanggaan. Saya sendiri sangat bangga dengan luka-luka yang saya dapat dari medan pertempuran.<br /><br />Dan untuk mencatat semua kisah perjuangan saya, sekarang saya sedang menyiapkan sebuah buku memoir.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Oh? Kapan kira-kira buku itu terbitkan?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Rahasia. Tunggu saja tanggal mainnya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Baik. Kita harapkan buku itu nantinya bisa menjadi semacam acuan bagi para generasi muda.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Iya.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Presenter:<br /></span>Mmm, Bapak juga dikenal sebagai penembak yang jitu ...<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Langsung menyergah) Oo, iya! Menembak tepat dari jarak 50 meter bukan masalah bagi saya. Saya pernah masuk koran karena menembak kaki maling. (Tertawa) Ada-ada saja wartawan itu. Baru nembak kaki maling saja sudah masuk koran. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau mereka menyaksikan saya bertempur, menembak musuh satu demi satu hingga terkapar bersimbah darah dan tak bernyawa, waaahh, bisa-bisa wartawan-wartawan itu malah pingsan duluan. (Tertawa lagi.)<br /><br />Tawa yang lama-kelamaan kedengaran aneh itu membawa kembali Sang Jenderal ke rumahnya.<br /><br />Ia tengah menyelesaikan suapan terakhirnya.<br />Tentara-tentara tadi datang mengangkut meja, kursi, serta peralatan makan Sang Jenderal.<br /><br />Sang Jenderal menyempatkan matanya melirik TV yang masih menyala.<br /><br />Di layar TV, Sang Jenderal menyaksikan berita tentang sengketa sebuah daerah.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Sial! Berita itu saja! Apa tidak ada masalah lain yang bisa diberitakan?! Pembangunan sedang marak, ini kok malah lain-lain. Ada-ada saja!<br /><br />Dengan kesal, dipindahnya channel siaran.<br /><br />Lalu tersaji gambar unjuk rasa para mahasiswa.<br /><br />Sang Jenderal kembali memaki. Dipilihnya lagi channel yang lain.<br /><br />TV menyajikan dialog para politikus tentang keadaan negara yang kian krisis, korupsi, kenaikan harga dan bla bla bla ....<br /><br />Dimatikannya TV. Napasnya tersengal. Bibirnya tak kuat lagi mengeluarkan caci-maki. Diraihnya gelas minuman di sampingnya, lalu minum secukupnya.<br /><br />Sang Jenderal berusaha menenangkan diri.<br /><br />Seorang tentara datang membawakan cerutu dan koran Herald Tribune.<br /><br />Setelah menyalakan cerutu untuk Sang Jenderal, tentara itu pergi.<br /><br />Sang Jenderal menikmati cerutu, lalu iseng membaca salah satu berita di koran seperti memamah sepotong keju.<br /><br />Sejenak, Sang Jenderal masih membaca koran.<br /><br />Namun tiba-tiba, darahnya mendidih. Napasnya memburu.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Dibantingnya koran. Muak. Sengit) Huuaahhh! Berita itu lagi! Berita itu lagi! Apa yang mereka ketahui tentang risiko kehilangan nyawa?! Apa yang mereka ketahui tentang bagaimana rasanya dikepung musuh di medan tak dikenal dan dibantai tanpa kenal ampun?!<br /><br />Sialan!<br /><br />Daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa, apa sekarang kita harus menyerahkannya kembali? Dasar wartawan tidak punya kerjaan! Seberapa besar sih jasa mereka dibandingkan dengan menghadapi peluru berdesing-desing, bom yang menggelegar, bazooka, dinamit, mortir, granat ....<br /><br />Mereka semua mengesalkan. Semua wartawan itu. Juga para diplomat, politisi .... Apalagi mahasiswa. Sok gagah semua!<br /><br />Mereka tahu apa? Bisanya cuma ngomong doang! Tahu apa mereka tentang keluarga tentara yang ditinggal mati, tentang menjadi cacat tanpa kaki dan tanpa tangan, tentang perjuangan tanpa pamrih yang dilecehkan sebagai penindasan? Ini penghinaan! Wilayah itu kita istimewakan, kita bangun lebih cepat dari wilayah-wilayah lain, kok malah dibilang menjajah! Kok dibilang mau memusnahkan bangsa! Apa-apaan?<br /><br />Sang Jenderal bangkit. Dengan sigap tangannya meraih sepucuk pistol di saku piyamanya, lalu dengan terburu, seperti seorang prajurit yang dibangunkan mendadak tengah malam, ia menanggalkan piyamanya. Yang tinggal hanya celana dalam yang membungkus daerah fitalnya. Lalu dengan sigap pula, ia meraih sebuah penutup kepala kemiliteran bertanda bintang lima, kemudian mengenakannya.<br /><br />Tubuh tegap Sang Jenderal berdiri di atas kursi dengan sikap sempurna seorang tentara. Tangan kokohnya mengarahkan pistol ke udara, dan ... dorrr!!<br /><br />Seketika setelah suara tembakan itu, tertayang gambar-gambar peperangan yang disusul suara tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank, dan sebagainya.<br /><br />Semua melaju begitu cepatnya.<br /><br />Bersamaan dengan itu pula, beberapa orang tentara dari berbagai satuan, lengkap dengan senjata masing-masing, datang dan langsung berbaris rapi di hadapan Sang Jenderal.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Para Tentara:<br /></span>Siap, Jenderal!!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Layaknya seorang komandan yang memberi arahan pada para prajuritnya) Sebagai tentara, kehidupan kita hanyalah untuk berjuang, berjuang, dan berjuang. Tak ada yang lain. Kita harus bangga. Ini adalah tugas mulia yang kita emban. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menjadi tentara. Tentara itu mulia karena dengan menjadi tentara seseorang telah menyerahkan nyawanya. Untuk tanahair kita tercinta.<br /><br />Menjadi tentara lebih dari sekedar sebuah profesi. Kita sangat jauh lebih berharga dibandingkan dengan profesi lainnya. Apalagi dibandingkan dengan wartawan, diplomat, politisi, dan mahasiswa, yang sok gagah itu. Jasa mereka tak ada apa-apanya dibandingkan kita yang berjuang menghadapi senapan, bom, bazooka, dinamit, mortir, granat ....<br /><br />Sekarang lihatlah! Musuh sudah ada di depan kita. Mereka siap menyerang kita setiap saat. Meluluhlantakkan kita kapan pun mereka mau. Maka, sekarang bersiaplah! Bersiaplah mengorbankan jiwa dan raga untuk nusa dan bangsa.<br /><br />Tapi ingat, musuh yang sekarang ini bukan hanya bala tentara musuh yang selalu bersenjata. Mereka tak selalu bersenjata. Tak selalu seperti orang yang sedang memberontak. Musuh kita adalah juga para wartawan, diplomat, politisi, mahasiswa, yang hanya bisa mengeritik saja. Mereka sama berbahayanya.<br /><br />Kalian ingat? Dulu daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa. Sekarang mereka malah seenaknya ingin menyerahkannya kembali. Ini penghinaan besar-besaran terhadap reputasi kita sebagai tentara. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.<br /><br />Jadi, tunggu apa lagi! Kita harus sikat mereka! Ganyang semuanya!<br /><br />Kerjakan!!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Para Tentara:<br /></span>Siap, Jenderal!!<br /><br />Tentara-tentara itu bergerak dengan gesitnya. Mereka siaga, memasang posisi siap menggempur sebuah arah. Ada yang tiarap, ada yang bersembunyi, ada yang mengintai dengan teropong, dan sebagainya.<br /><br />Sang Jenderal segera turun dari kursi, lalu ikut tiarap di belakang para tentara. Ia juga bersiaga dengan pistolnya.<br /><br />Sementara gambar-gambar peperangan terus melaju kian cepat. Suara-suara kian riuh.<br /><br />Ketika sebuah ledakan keras terdengar dari luar, dengan cepat Sang Jenderal memberi komando.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Seraaaangng ...!!<br /><br />Para tentara maju ke sebuah arah. Mereka menembakkan senapan-senapan mereka.<br /><br />Terciptalah suasana perang yang riuh dan mencekam.<br /><br />Ketika semua tentara lenyap dari hadapannya, Sang Jenderal bangkit perlahan.<br /><br />Lalu tertawa terbahak-bahak.<br /><br />Perlahan, suara tembakan, gambar-gambar dan suara-suara peperangan itu lenyap, ditelan tawa Sang Jenderal yang begitu panjang, yang lama-kelamaan kedengaran begitu aneh.<br /><br />Masih menyisakan tawa, Sang Jenderal kembali ke kursi malasnya. Memakai kembali piyama serta kacamata hitamnya, menyimpan lagi pistol ke saku piyamanya, lalu menanggalkan penutup kepala kemiliterannya.<br /><br />Kehausan, ia teguk sisa minuman di gelasnya hingga tandas.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Perlu diberi penegasan bahwanya seorang prajurit itu diuji di lapangan. Bukan di belakang meja. Bukan pula di depan layar komputer. Bukan dengan corat-coret di atas kertas. Bukan pula dengan banyak omong. Yang penting bagi prajurit adalah sejauh mana ia berani mengeluarkan timah panas dari senapannya. Seberapa garang ia di medan tempur.<br /><br />Hidup saya sendiri memang habis di medan tempur. Sejak umur belasan tahun saya sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan. Sebelum akhirnya saya direkrut menjadi tentara. Setiap kali ada pemberontakan, saya selalu diterjunkan untuk memadamkannya. Saya hampir selalu dikirim, karena setiap tugas yang dibebankan pada saya selalu beres seberes-beresnya.<br /><br />Itulah saya!<br /><br />Lalu terdiam. Lama. Tak jelas apa yang berkecamuk dalam kepalanya.<br />Akhirnya kentara juga kegelisahannya. Sang Jenderal seperti kikuk dengan posisi tubuhnya.<br /><br />Berulang kali ia benahi posisi tubuhnya.<br /><br />Tapi tak juga mendapat kenyamanan.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Berteriak, entah ditujukan kepada siapa) Heeeii! Ayo dong bikin perang! Hidup kok adem-ayem kayak gini! Garang sekali-sekali kenapa sih?! Begini nih .... (tangannya merogoh saku piyama, mengeluarkan pistol, lalu menembakkannya beberapa kali ke sembarang arah.)<br /><br />Nah, kan seru kedengarannya!<br /><br />Lama-lama ia bosan juga.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Ah, nggak ada musuh jadi nggak seru juga ....<br /><br />Kembali kekikukan itu menyerangnya. Tangannya bergerak ke arah-arah yang tak tentu, mencari sesuatu – entah apa – yang bisa menghilangkan gelisahnya.<br /><br />Diambilnya gelas. Kosong.<br /><br />Penutup kepala kemiliteran dengan lima bintang bertengger. Itu pun dirasanya hambar.<br /><br />Pistol. Tak ada musuh. Buang peluru percuma.<br /><br />Koran yang sempat dibantingnya. Ah, berita yang menyakitkan saja isinya.<br /><br />Ia ingat sesuatu. Dirogohnya saku piyama yang satu lagi. Sebuah telepon genggam di sana.<br /><br />Sang Jenderal memencet beberapa nomor.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Halo? – Heee, tidak usah tanya kabar. Aku tetap begini-begini saja. Sama seperti kau. Hahaha .... – Eh, kau punya musuh nggak? – Iya, musuh! – Yaa, barangkali bisa aku tembak. Gatal tanganku. – Hahaha ...! – Ngomong-ngomong, bagaimana tulisan memoirmu? Sudah berapa halaman? – Baru seratus halaman?! – Aku sudah lima ratus halaman lebih. – Oke, kontak aku kalau kau sudah melewati lima ratus halaman. Nanti kita terbitkan bersama, kita launching bersama. Oke? – Oke ....<br /><br />Memencet lagi nomor yang lain.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Halo! – Hahahaha ...! Baru berapa halaman? – Enam ratus?! – Aku sudah seribu halaman lebih. – Ah, tidak masalah. Yang penting kita tumpahkan semua di buku memoir itu. Biar mereka tahu, bagaimana gagahnya kita, bagaimana kita mati-matian, di medan tempur. – Oke ....<br /><br />Memencet nomor lagi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Sial! (Menutup teleponnya) Sombong sekali! Pensiunan kok sibuk!<br /><br />Nomor yang lain lagi.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Aaaahhhh ...! (Menutup teleponnya) Apa saja sih kerjaan mereka?! Sok sibuk semua!<br /><br />Dimasukkannya kembali telepon genggam ke saku.<br /><br />Gelisah itu datang lagi.<br /><br />Digerakkannya tangan ke arah-arah yang tak tentu, mencari sesuatu – entah apa – yang bisa menghilangkan gelisahnya.<br /><br />Diambilnya gelas. Kosong melompong.<br /><br />Penutup kepala kemiliteran dengan lima bintang bertengger. Ah, hambar.<br /><br />Pistol. Ah, lagi-lagi tak ada musuh. Buang peluru percuma.<br /><br />Koran yang sempat dibantingnya. Ah, seperti kertas kosong saja.<br /><br />Akhirnya tangannya jatuh pada remote control. Dinyalakannya TV.<br /><br />Film perang!<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>Naaahhhh ...! Ini dia!<br /><br />Begitu gembiranya ia melihat film perang di TV.<br /><br />Pistolnya dirogoh. Ditanggalkannya piyama. Dikenakannya penutup kepala berbintang lima.<br /><br />Ikut beraksi, seakan ia ada dalam kisah perang di TV.<br /><br />Beberapa kali dikeluarkannya timah panas.<br /><br />Kegembiraan yang meluap! Sang Jenderal seperti menemukan medan tempurnya yang telah lama hilang.<br /><br />Lalu, barangkali dari dalam imajinasi Sang Jenderal, suara-suara perang bermunculan. Tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank, dan sebagainya.<br /><br />Kemudian gambar-gambar peperangan itu muncul lagi.<br /><br />Sang jenderal tertawa dengan puasnya. Dar-der-dor tumpah dari pistol di tangannya.<br /><br />Kini tubuhnya menari-nari, ditimpa gambar-gambar peperangan yang melaju kian cepat.<br /><br />Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.<br /><br />Sang Jenderal kian garang, kian terlena dengan hura-huranya. Tubuh basahnya kian liar.<br /><br />Seiring hujan yang kian menderas, gambar-gambar peperangan berubah menjadi warna merah semata. Kian lama, kian merah. Merah darah.<br /><br />Sang Jenderal terus menari.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Berteriak) Darah itu merah, Jenderal!!<br /><br />Semuanya berjalan dalam waktu yang lumayan lama.<br /><br />Hingga pada satu saat, segala gambar dan suara memudar.<br /><br />Tinggal merah pudar. Serta rintik hujan.<br /><br />Dan Sang Jenderal yang terkapar kecapaian.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Sang Jenderal:<br /></span>(Dalam napas tersengal) Memang ... sudah waktunya ... aku pensiun ...<br /><br />Lalu hanya suara rintik hujan ....</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-28426309519246934232009-05-17T16:39:00.002+08:002009-05-17T16:42:27.498+08:00Pos<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com/">Oleh: Boyke SN<br /><br /></a>BAGAI pentas malam yang tak henti-hentinya, sayup-sayup dentang kentongan terdengar tiap menjelang malam. Memberikan nada-nada sarat makna dari sebuah pendalaman isyarat. Dan begitu pahamnya tentang nurani kita agar dibenak selalu terlintas betapa malam kadang sangat mencekam. Siang selalu mewaspadai datangnya senja. Hari-hari telah menjadi tumpukan ketakutan.<br /><br />Sebegitu tidak amankah lingkungan yang terhuni? Sebegitu tidak amankah halaman, taman-taman, rumput-rumputan, kembang-kembang, hijau daun, kucing-kucing, atau burung-burung kecil yang hinggap sambil menyanyikan puisi-puisi, percakapan-percakapan dipanggung-panggung ranting, yang telah kubangun? Sehingga suara-suara kentongan menembus keheningan, menggugah kesuntukan, berubah menjadi ketegangan?<br /><br /><span class="fullpost">Ah, mungkin aku terlalu bertele-tele. Alam pikiran terlalu kusut. Ataukah ini gejala kepintaran!<br /><br />Tetapi angin entah terpolusi atau tidak sering mengirimkan pengaduannya. Bahwa segala yang telah terawat, segala yang telah terjaga mengalami stress berat, ada pula yang terganggu jiwanya. Gila.<br /><br />Memang gila, di dunia yang gila ternyata banyak orang-orang gila menggila gilai dengan maksud untuk kepentingan kegilaannya.<br /><br />Siapa akan menyangka kalau kejahatan tumbuh di antara kerumunan orang-orang gila. Siapa nyangka maling ikut ronda atau maling teriak maling. Siapa sangka di tengah-tengah penjiwaan penataan kembang mengalir madu yang meracuni seisi taman?<br /><br />Beberapa kali kulihat pos-pos keamanan lingkungan semua telah menjadi arena main kartu dan minum arak. Beberapa kali kuajukan proposal untuk perbaikan taman, tetapi telah dijadikan papan catur untuk menamatkan riwayat usaha pemurnian maksud. Seperti adanya pencurian maksud baik, digiring dan dimasukkan dalam kerangka sebagai alat untuk tujuannya.<br /><br />Siapa yang berpikir agak rumit, segera akan diburu, dibuang jauh-jauh, ditelanjangi, dikuliti, dibakar, lalu dibunuh pikirannya. Kemudian difitnah pada pertemuan-pertemuan, ditulis pada tiap media, disebarkan, dan tiap orang lewat menginjak-injak baris hurup-hurup namanya yang tercantum.<br /><br />Lantas pada siapa mengadu? Pada siapa…….<br />Apakah mesti mempertanyakannya pada bapak bupati:<br />“Adakah usaha-usaha pembentukan birokrasi penjegalan di sekitar?<br />Berapa dana hari ini turun ?<br />Apakah disana juga ada jaringan-jaringan maling ?”<br /><br />Oh, ini hanya penyakit globalisasi yang mengakibatkan PENEGERIANISASI.<br /><br />Mungkin dalam hal itu aku tak mampu untuk bersekongkol walau dengan alasan apapun. Sebab aku lebih mementingkan ketentraman dalam diri agar mampu membangun kembali halaman, taman yang tandus dengan kejujuran murni, dengan kehampaan. Entah sekadar dihiasi kembang-kembang rumput, atau batu-batu gunung yang dianggap menentang arus.<br /><br />Kalaupun akhirnya laksana penghambat, aku hanya merasa takan pernah mampu memilih dan memilah arus mana terbaik. Apakah arus akan menghantar ke laut atau arus yang akan menyesatkan perjalanan.<br /><br />Dan akupun tak ingin menjadi daun-daun kering yang numpang hidup dari arus. Aku hanya ingin sebagai penata taman di halamanku sendiri dan membuat pos-pos kamling dalam jiwa.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-76890906673008670252009-05-17T16:32:00.005+08:002009-05-18T13:26:46.112+08:00Laku Teater dalam Laku Budaya Manusia Bali<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas<br /><br /></a><span style="font-weight: bold;">Fenomena Parekan: Sebuah Pemberontakan Kreatif?<br /></span>Masyarakat Bali, dijamin terpingkal-pingkal saat menonton adegan dan menyimak dialog antara Punta dan Wijil dalam pementasan kesenian Arja, atau dialog antara dua parekan (punakawan) ini dengan Mantri Buduh-nya. Di tengah-tengah dialog kocak yang sebagiannya disisipi perilaku serta kalimat-kalimat “kurang ajar” terutama dari Punta dan Wijil kepada sang raja (Mantri Buduh), penonton tanpa sadar hanyut dalam eforia karikatural seputar perilaku yang terjadi dalam lingkungan kekuasaan (puri/istana). Demikian pula dalam pementasan Bondres, para penonton (masyarakat Bali) tak akan bisa menahan tawa menyaksikan berbagai karakter konyol yang divisualisasikan oleh para pemain di dalam kalangan (panggung pementasan).<br /><br /><span class="fullpost">Lelucon Punta – Wijil – Mantri Buduh dalam kesenian Arja, atau Sangut – Delem – Merdah – Tualen dalam Wayang Kulit, kemudian adegan-adegan karikatural dalam Bondres serta lawakan para pematah dalam Drama Gong, seakan dengan sengaja mengajak penonton menyaksikan sebagian besar “sisi negatif” karakter dari kehidupan dirinya sendiri, komunitasnya sendiri, serta perilaku dan kehidupan para penguasa. Secara eksplisit dapat ditangkap sebagai pemaparan berbagai ketimpangan perilaku kaum elit yang terjadi di lingkungan kekuasaan yang bagi masyarakat tradisional nyaris mustahil untuk membicarakannya di tempat-tempat umum semacam warung kopi atau bale banjar. Perilaku raja atau patih yang korup, pangeran yang bermental preman, patih atau punggawa penjilat, semua digambarkan dalam serangkaian parodi yang membuat penonton tertawa, bersorak mengejek, memisuh tanpa merasa takut akan dihukum oleh penguasa.<br /><br />Fenomena dan sedikit ilustrasi di atas – sebagai sekedar contoh dari sekian ragam seni teater tradisional Bali, – kiranya cukup menjadi bahan untuk mencermati sebuah “fenomena lain” yang sesungguhnya terjadi dalam teater tradisonal Bali. Secara umum, baiklah, bahwa kesenian Bali tersebut diciptakan oleh pelaku (masyarakatnya) mula-mula sebagai persembahan kepada apa atau siapapun yang dinilainya layak untuk tujuan itu. Namun akhirnya fenomena parekan/punakawan yang ada atau diadakan dalam hampir setiap teater tradisional tersebut tidaklah dapat dipandang semata-mata hanya sebagai elemen pelengkap – entah kemudian disebut sebagai “pemanis" atau apa – yang tugasnya hanya untuk memberi kesempatan penonton menarik napas atau mengendurkan ketegangan di antara runutan cerita yang dibangun dan disajikan di atas panggung. Fenomena parekan tersebut layak dicermati sebagai sesuatu yang sengaja diciptakan oleh para penggiat dan pelaku teater tradisional Bali untuk sesuatu kepentingan atau tujuan lain yang bisa saja tidak berani mereka ungkap secara vulgar dalam keseharian di luar panggung.<br /><br />Amatlah menarik, kenapa para parekan yang diciptakan tersebut justru dengan sengaja diberi kebebasan ekspresi di tengah-tengah keseriusan bahkan kesakralan teks atau cerita yang tengah dipentaskan. Sementara sebagaimana telah disinggung tadi, bahwa di tengah hegemoni (budaya dan politik) penguasa sejak jaman kerajaan, masyarakat (rakyat kecil) Bali terlanjur merelakan dirinya menjadi manusia-manusia yang “santun”; metilesang raga, terlebih-lebih kemudian mereka dikungkung oleh sebuah pemahaman yang disempitkan atas tatanan sosial yang di dalamnya terdapat istilah leteh dan tulah. Sejak awal, individu-individu manusia Bali diikat oleh ketakutan yang berlebihan dalam proses kehidupan sosial-budaya dan sosial-politiknya yang bergantung pada adat tradisi, di mana adat dan tradisi ini sejak awal pula tumbuh (ditumbuhkan) dari kepentingan untuk menjaga kewibawaan serta kesakralan kalangan penguasa (istana/puri) berikut lingkungannya.<br /><br />Dalam konteks inilah kemudian masyarakat Bali menemukan serta menempatkan kesenian (teater) sebagai media ekspresi pelepasan emosi sekaligus perlawanan yang segera saya garisbawahi sebagai sebuah pemberontakan, pemberontakan kreatif. Penambahan kata “kreatif” di sini tentu saja karena pemberontakan yang dimaksud tidak diwujudkan secara pisik, tetapi dalam bentuk wacana dan idiom-idiom yang diolah dan dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah “hanyalah” bagian dari tontonan atau kesenian.<br /><br />Di bagian ini, sadar atau tidak, ternyata teater dalam kehidupan estetik masyarakat Bali kembali pada fitrahnya: ia menjadi ekspresi dari keberadaan sentral manusia di atas bumi dan kehidupan yang di antaranya terdapat: kebebasan, kemerdekaan diri.<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Abstraksi Aktualisasi Diri<br /></span>Secara umum, saya setuju bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan paham yang berarti mengenai posisi dan peran seni teater sejak masa pertama ia (teater) dipercaya ada. Teater pada waktu-waktu awal telah menjadi kegiatan selebrasi dari masyarakat pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan fungsinya yang penting sebagai salah satu agen evolusi sosial. Malah kadang secara langsung ia menjadi cermin atau refleksi perubahan-perubahan sosial dan politik.<br /><br />Jika berbicara tentang teater (di) atau sekaligus (atas) masyarakat Bali, pendapat di atas pun menemukan relevansinya. Dan, hal ini akan semakin lebih terasa terutama untuk “masyarakat Bali kini” – (baca: generasi muda) yang cenderung mulai bergeser menyukai sekaligus bergiat dalam seni teater modern di tengah-tengah konteks kekinian, di mana Bali dengan masyarakatnya mau tak mau harus pula larut dalam anasir-anasir global yang tak mungkin dibendung, di mana dengan besar hati pula harus diakui bahwa teater tradisional Bali (“kian menampilkan wajah yang cukup mengenaskan; jika tidak musnah, ia terpinggirkan secara ekstrim, atau tampil hampir tanpa etos dan vitalitas kreatif sama sekali – Radhar Panca Dahana).<br /><br />Memang, mula-mula nyaris tak ada argumen berbeda yang dapat didengar dari para pelaku dan penggiat seni teater tradisional maupun teater modern Bali. Mula-mula, para pelaku dan penggiat teater tersebut senantiasa dan nyaris dengan bahasa seragam mengatakan bahwa mereka berkarya semata-mata sebagai ibadah atau persembahan. Ibadah kepada kelahiran dan kehidupan atau lingkungan sosial. Persembahan kepada Yang Masa Esa yang telah memberikan hidup dan kehidupan serta kesenian itu sendiri. Hampir tak ada orang Bali (yang bergiat pada kesenian tradisi maupun modern) yang dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa karya mereka merupakan alat protes sosial atau alat perjuangan untuk tujuan tertentu yang lebih bersifat kontekstual (duniawi).<br /><br />Sampai di bagian ini, teater dalam konteks berkesenian masyarakat Bali sepintas masih kukuh pada posisi pentingnya sebagai proses transendensial yang mengacu pada “Bali yang surga”. Akan tetapi ketika kita masuk lebih jauh ke dalam fakta-fakta visualisasi karya-karya mereka, tidaklah mengagetkan jika yang tersirat justru sebuah proses perlawanan yang begitu dahsyat. Dari penggugatan terhadap kungkungan adat dan tradisi, perlawanan terhadap pakem-pakem kesenian yang selama ini dirasa membelanggu, protes-protes atas fenomena sosial-politik yang ada, bahkan tidak sedikit yang merupakan visualisasi “pengingkaran” (penafsiran serta penyikapan baru) terhadap pemahaman spritual yang sebelumnya begitu disakralkan dan dihormati.<br /><br />Untuk menyebut beberapa contoh, pementasan-pementasan teater Cokorda Istri Savitri hingga saat ini nyaris semuanya menggugat secara terang-terangan dan berani prihal “diskriminasi” gender dalam lingkungan sosial masyarakat Bali. Seni Pertunjukan Nyoman Erawan begitu kuat merefleksikan gugatan dan pengingkaran terhadap pakem-pakem tradisi maupun konvensi yang selama ini dikenal dan dianut masyarakat Bali. (Pertunjukan) seni instalasi Made Wianta justru mereposisi banyak simbol-simbol sakral atau ikon-ikon tradisional masyarakat Bali. Teater-teater garapan Putu Satria Kusuma senantiasa merupakan media protes atas fenomena timpang sosial-politik yang sedang terjadi. Atau Bali Eksperimental Teater, secara ekstrim mengingkari konvensi-konvensi teater sekaligus menggugat fenomena sosial-politik-budaya-spiritual yang terjadi.<br /><br />Demikian pula halnya dengan kebangkitan teater-teater anak kampus di Denpasar yang tiga tahun belakangan ini bersemangat kembali. Teater Orok dan Teater Got yang dimotori para mahasiswa beberapa kampus (fakultas) di Denpasar, di samping mengusung teater sebagai bagian kreatifitas seni, tampak pula upaya-upaya pengaktualisasian diri mereka di tengah-tengah fenomena sosial melalui eksplorasi-eksplorasi, refleksi hingga eksperimentasi atas realitas yang terjadi di sekitarnya.<br /><br />Memang, hanya dengan menunjuk atau merujuk fakta serta fenomena yang dilakukan oleh segelintir penggiat tersebut, saya pun belumlah berani memberi harga mati untuk kemudian menyimpulkan teater bagi masyarakat Bali adalah sebagai sesuatu yang sebut saja misalnya “alat perjuangan” atau “media pemberontakan”. Masih harus dilakukan pengkajian lebih mendalam dan melibatkan banyak aspek pendukung maupun yang di luarnya. Tapi bagaimanapun juga, fakta-fakta yang menunjuk ke arah tersebut adalah memang ada dalam tubuh teater di Bali, baik yang tradisional maupun yang modern. Pun fakta-fakta serta fenomena tersebut, terutama dalam teater modern, telah bergeser ke dalam wilayah yang lebih luas bahkan abstrak. Sementara dalam teater tradisional siratan-siratan protes atau pemberontakannya lebih kepada hal-hal yang kasat mata atau kontekstual.<br /><br />Tetapi bagaimana pun juga, dalam wilayah dialog ini saya harus segera menentukan posisi untuk argumen ini. Dengan besar hati saya akan mengatakan, sampai sejauh ini teater dalam konteks berkesenian masyarakat Bali adalah (juga) sebagai media aktualisasi diri. Masyarakat Bali, sebagai individu sekaligus sebagai bagian dari warga kehidupan, tentu memerlukan sebuah media untuk menyatakan dirinya, memerlukan wilayah untuk menunjukan posisinya terhadap apa yang ada dan terjadi di sekelilingnya, entah itu wilayah sosial, politik, spiritualitas hingga kesenian itu sendiri. Seandainya kemudian ini disebut sebagai alat pemberontakan, ya, silahkan saja.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-26916403076256905532009-05-17T15:16:00.000+08:002009-05-17T15:18:20.697+08:00Rajerbabat Purnama Kapat, dimanakah sekarang?<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com/">Oleh: Boyke SN<br /><br /></a>Sebelum ini, era tahun 90-an kota Negara ( Jembrana ) memang bagai atraksi: dari baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah silih berganti mengisi kelengangan kota.<br /><br />Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar yang selalu rutin menggelar pentas keseniannya mulai dari Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, sanggar susur, sanggar pilot, sanggar kenari, kelompok pesaji, teater hitam putih, Teater GAR, padukuhan seni tibu bunter, KPSJ, Bali experimental teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.<br /><br /><span class="fullpost">"Ini Negara lho.. hanya sebuah kota kabupaten kok bisa seperti Jogya atau Bandung bahkan Jakarta. Kampus juga tidak ada?" Kata sahabat saya, seorang pelukis yang kini tidak lagi menu makanannya "atas bawah" (baca: kepala dan ceker) dengan sayur rumput halaman semasih gabung di sanggar Posti Denpasar. Menawarkan siap mendukung secara materi.<br /><br />"Tapi sekarang sepi ya...?" "Oh tidak juga, kami di Negara semuanya exist, kami bisa berkesenian jarak jauh kok.." jawab saya. Dimanapun berada, bisa melihat kami. Ini Blog saya....http://njdfnr9blogblogan.blogspot.com<br /><br />"Lantas apa konotasinya dengan Rajerbabat?"<br /><br />Tentu Rajerbabat tidak mungkin kembali, kalau ingin kembali, kembalilah keJogyakarta... Seperti kata pak Umbu Landu Paranggi. Atau kembali ke Laptop!!! Kata saya.<br /><br />Rajerbabat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat, adalah wadah kreatifitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern dikota Makepung kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan. Formatnya sudah sangat bagus, walaupun pada era itu secara material kami benar-benar serba minimalis. Kami hanya menghandalkan honor nulis puisi , prosa di media setempat. Jika kemana-mana mengajukan proposal atau ijin keramaian dan lain sebagainya, kami harus berjalan kaki kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko.<br /><br />Tapi Taksu-nya(baca: jiwa) benar-benar ada. Menunggu apalagi? Apakah harus menunggu "miskin" dulu baru berkesenian atau setelah "menderita" baru ingat kesenian? Aku tunggu di era PAST (Pekan Apresiasi Sastra dan Teater) nanti. Seperti biasa aku akan pura-pura sakit plus siap ambil cuti. Berani?<br /><br /><span style="font-weight: bold;">Catatan:</span></span><span class="fullpost"><br />sahabat-sahabat di bali barat jangan marah atau nanti saya tidak di terima di kotamu.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-10266947864356084482009-05-17T15:10:00.002+08:002009-05-21T10:59:45.149+08:00Kucari Cinta di Balik Kelaminmu<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">- kepada perempuan yang memberi hidup<br /><br /></span><a href="http://catatankecil-wendrawijaya.blogspot.com/">Oleh: Wendra Wijaya<br /><br /></a>MALAM tak sekelam biasanya. Purnama masih mengiklaskan dirinya untuk memandu langkah sang pejalan jauh. Tak jelas kemana arahnya. Yang ia tahu hanyalah berjalan, mengikuti nalurinya.<br /><br />Entah berapa depa jarak yang ditempuhnya. Wajah kusut itu menyiratkan kelelahan yang teramat sangat. Bahkan mungkin, telah menghabiskan 23 tahun kehidupan untuk mencari. Hanya mencari!<br /><br />“Ah dunia, seberapa luaskah engkau untuk ku jelajahi? Seberapa iklaskah engkau menerima keberadaanku, untuk sesekali menikahimu? Dimanakah akan kutemukan cinta?”<br /><br /><span class="fullpost">Aku hanya bisa meracau, menggumam dengan bahasa yang entah. Jalanan berdebu, trotoar jalan, lampu penerang kota, pohonan yang membisu menjadi pelampiasan kekalutanku.<br /><br />“Angin, tak bisakah kau sesekali berhenti bergerak? Tinggallah sejenak. Mari berbincang. Tentang cinta, kasih dan pengorbanan dunia. Sungguh, aku perlu itu. Aku remuk di tengah pergulatanku sendiri. Atau jangan-jangan, kau pun tak memahaminya. Apa yang kau tahu tentang cinta, kasih dan pengorbanan?”<br /><br />Aku menggerutu, menghardik, menghentak. Menahan amarah. Mencabik-cabik diriku sendiri. Menenggelamkan jiwa di ujung kelam satu sudut kota.<br /><br />Aku terasing. Hanya gamelan yang masih setia mengiringi langkah panjang perjalanan. Kekasih, aku larut dalam tatapanmu. Di balik kelaminmu, masihkah kutemukan cinta itu? 23 tahun ini aku mengembara, mencari jalan pulang ke balik kelamin yang membuangku. Biarkanlah aku kembali sejenak Bahkan hanya untuk sekedar berkata, aku ingin tetap di sini. Mencari teduh kegalauan jiwaku!<br /><br />Ah, apa yang kupikirkan? Tentu tak ‘kan ada lagi sejengkal tempat buatku di sana. Aku terlalu angkuh menjalani kehidupan untuk kembali lagi. Inilah konsekuensi dari prosesi bernama hidup!<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">*****<br /><br /></span></div><span class="fullpost">“Melangkahlah sebelum gaib melumatmu. Tak ada yang bisa kau lakukan selain itu. Tataplah dirimu. Apa yang bisa kau lakukan untuk merayakan kehidupanmu? Hanya engkau yang tahu!”<br /><br />Aku terpaku. Tak ada yang bisa benar-benar menolongku. Tak akan ada yang bisa menjawab pertanyaan, memberi cahaya atas kegalauanku. Tak seorangpun....<br /><br /></span><div style="text-align: right; font-style: italic;"><span class="fullpost">suatu hari di <a href="http://putrakhan.blogspot.com/">pangkalan<br /></a></span><span class="fullpost">tersaput dingin dan keheningan malam</span></div></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-45390806148116036582009-05-17T15:06:00.002+08:002009-05-18T13:27:16.058+08:00Penyair Cyber dan Puisi Sampah<div style="text-align: justify;"><a href="http://leneng.blogspot.com/">Oleh: Boyke SN<br /><br /></a><span style="font-weight: bold; font-style: italic;">Sekaligus saya tak begitu peduli media apa yang menjadikan seseorang apa?<br /><br /></span>Bahkan kesenian tradisional yang saya kenal di Bali dan mungkin dimana saja, awal mulanya tak pernah memperhitungkan media, mereka mengalir hanya menuruti rasa karena kesenian apapun wujudnya adalah rasa. Di peragakan dimanapun akan terasa dan terlihat taksunya.(baca: jiwa)<br /><br />Seperti ungkapan orang bali “ depang anake ngadanin” artinya: biarkan orang lain yang menilai, kalaupun berkilau dimanapun berada akan nampak sendiri.<br /><br /><span class="fullpost">Bagaimana mungkin nilai seni bisa terukur oleh media yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah karya?<br /><br />Sayapun tak menampik jika karya sastra (puisi) berada pada media tertentu akan lebih mendapatkan pengakuan sebagai PENYAIR yang “konon” lebih menasional bahkan international.<br /><br />Tetapi jika menulis puisi/prosa di media dunia maya (dalam hal ini blog/wordpress) akan dapat embel-embel sebagai PENYAIR CYBER. Puisi-puisinya adalah PUISI-PUISI SAMPAH. Sisa dari penolakan media cetak yang terbuang di TONG SAMPAH.<br /><br />Saya tidak habis pikir, dunia maya ini dianggap sebagai hal yang main-main sesuatu yang tidak serius. Sesuatu yang dianggap sebagai tempat pembuangan sisa-sisa , barang bekas atau barang yang tidak berguna. Padahal saya, para sahabat penulis jungkir balik untuk membuat karya karya terbaik<br /><br />Dan sebegitu anehnya berpikir puisi dianggap tak lebih seonggok sampah. Tapi mungkin puisi bagi mereka tak begitu berarti dalam kehidupannya.<br /><br />Bagaimana dengan Cyber? Oh, tentu mereka tak menolaknya karena takut akan diolok-olok gap-tek.<br /><br />“Kalau perlu, kok bisa-bisanya mengatakan penyair cyber?”<br /><br />Sepertinya status nama penyair bisa ditambah embel-embel disesuaikan dengan media dipergunakan untuk mempublikasikan karyanya;<br /><br />Jika menulis puisi pada selembar lontar, kulit binatang, bongkahan padas, batu….apakah akan disebut sebagai sastrawan/penyair hutan, penyair kebun binatang, penyair tebing, penyair kali….?<br /><br />Kalau demikian, semakin hari nilai estetika sebuah karya tak ada lagi. Yang ada hanyalah sibuk mencari tempat untuk menempatkan karya seni agar menjadi sebuah pengakuan. Artinya para seniman tidak lagi bekerja hanya semata-mata untuk kepentingan karya itu sendiri. Tidak lagi total sebagai pencipta karya seni.<br /><br />Begitu nyinyirnya jika media modern semacam blog, wordpress atau apalah namanya yang berhubungan dengan Internet dianggap sebagai media anti keseriusan dalam berkarya.<br />Dibalik itu semua, justeru saya sangat menikmati betapa dunia yang tanpa batas ini telah menjadi dunia yang bisa kita letakkan di meja makan bahkan dipangkuan sekalipun. Sayapun merasa bersyukur jika karya seni berupa puisi, prosa, cerpen dan lain-lain bisa begitu mudahnya dipublikasikan. tanpa lagi mesti melalui proses penyeleksian yang kadang agak lucu pada dunia cetak.<br /><br />Disinilah letak keseriusan berkesenian yang sesungguhnya, yang menentukan baik buruk sebuah karya adalah pembaca/penikmat. Bukan meja redaksional.<br /><br />Penulis pemula atau yang berlepotan seperti saya ini, dapat kesempatan yang sama dengan penulis yang memiliki reputasi kaliber mempublikasikan karya-karya terbaik.. Bisa dinikmati oleh berbagai usia dan beragam status sosial. Tidak terpaku pada perorangan atau kelompok pecinta sastra/seni belaka.<br /><br />Karena misi kesenian sudah jelas, adalah rasa, nurani, jiwa.Ketika kita berharap penikmatnya adalah para pecinta, maka itu hanya sebatas apresiasi. Share.<br /><br />Saya kira dunia bisnis cukup berperan dalam hal ini, bagaimana mungkin tulisan anak baru kemarin bisa dijual..? Dan media-media yang cukup beken di negeri ini sudah memperhitungkan sisi pengaruh popularitas seorang penulis atas jumlah oplah yang kemudian didapatkan. Paling tidak profit.<br /><br />Tentu dalam hal ini media cyber adalah media harapan masa depan, media yang tak terbatas dimanapun saudara-saudara kita berada, bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apa yang sedang mereka kerjakan?<br /><br />“Tak ada salahnya puisi-puisi, prosa-prosa menikmati media cyber”<br /><br />Akhir kata, mari berkarya jangan pernah berkedip hanya karena tujuan, yang terpenting adalah proses……</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-28999217408306582532009-05-17T15:03:00.001+08:002009-05-17T15:04:30.247+08:00surat kepada ibu<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas<br /><br /></a>berujung jugakah kemarau<br />di sini, ibu? mataku terkubur abu<br />pohonan hangus di tanah kupu-kupu<br />merindukan jemari rampingmu<br />menambal koyak cakrawala<br />sepanjang darah air mata tanah airku<br /><br />pagi yang kemudian menjenguk jiwaku<br />di persimpangan benda-benda; menyuguhkan<br />segelas embun<br />mungkinkah tuhan sedang rindu<br />pada taman-taman yang telah mati<br />dalam sajakku?<br />kapan<br /><br /><span class="fullpost">aku boleh meneguknya? sementara setiap rambu<br />tak hentinya menyuntikkan serum duka ke dadaku<br />satu jam sekali sejarah menuangkan<br />cairan penghilang rasa sakit<br />ke dalam jahitan kepalaku<br />dan<br /><br />ketika aku sampai ke alamat cintamu<br />barangkali aku sudah tak butuh apa-apa<br />kecuali kehangatan ramping jemarimu<br />untuk mengikatkan seutas benang doa<br />pada jiwaku yang tertinggal di halte-halte</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-26336101437420638902009-05-17T14:58:00.002+08:002009-05-17T15:01:36.176+08:00Sapu<div style="text-align: justify;"><a href="http://nanoqdakansas.blogspot.com/">Oleh: Nanoq da Kansas<br /><br /></a>ORANG TUA itu dengan memelas memandang saya. Matanya yang cekung mengingatkan saya pada sebuah sumur di tengah-tengah bukit yang tandus. Sebuah bukit yang mengering dengan rekahan-rekahan tanah menganga, membentuk garis berliku-liku dan keras. Nafasnya mengingatkan saya pada lenguh kerbau yang sedang menghela gerobak dengan muatan bertumpuk. Kerbau ringkih, kurus dan tertatih karena tidak ada pilihan lain kecuali menghela saja beban itu.<br /><br />Dua potong siku yang keluar dari lengan bajunya yang kumal dan berjamur, tertekuk dan bertelekan pada bibir meja, memberi sebuah bayangan pada berbagai pekerjaan yang menuntut penyelesaian bertahun-tahun, mengingatkan saya pada otot-otot meregang dan perih terbakar panas dan hujan. Jari-jemari yang kasar dan keras karena tercelup ke dalam adonan kehidupan pedesaan yang keras tetapi sahaja. Rambutnya mengingatkan masa kecil saya, di saat saya mengulur-ulur benang layangan di atas hamparan ladang kosong yang hanya dipenuhi oleh lalang-lalang yang sedang berbunga.<br /><br /><span class="fullpost">Bibirnya yang gemetar itu mengingatkan saya pada sebuah ketakutan di tengah-tengah suatu keterpaksaan. Seperti orang kebelet.<br /><br />“Mohon. Saya mohon pohon cempaka putih itu jangan ditebang. Saya mohon, Pak Kepala Desa,” dia menghiba di depan saya. Saya diam. Saya pandangi saja dia. Saya menunggu dan membiarkan dia mengeluarkan segala yang hendak diucapkannya.<br /><br />“Pohon cempaka putih itu adalah satu-satunya milik desa ini yang hasilnya dapat dinikmati bersama-sama oleh penduduk. Setiap hari-hari suci, atau setiap hendak melaksanakan upacara, mereka pasti mencari bunga itu. Anak-anak dan gadis-gadis remaja yang akan bersembahyang atau sehabis mengeramasi rambutnya, selalu pula mencari bunga itu. Setiap orang seakan merasa ada sesuatu yang kurang tanpa bunga cempaka itu. Entahlah, Pak Kepala Desa, pokoknya selama puluhan tahun saya dapat merasakan bahwa kesatuan dan kerukunan orang-orang di desa ini terwujud di bawah pohon cempaka putih itu. Oh, saya kira Bapak Kepala Desa telah tahu dan paham benar serta telah ikut pula merasakan hal itu. Bukankah Bapak selama ini telah melihat, bahwa setelah anak-anak muda pulang berlibur dari tempat kerja atau sekolah mereka di kota atau di luar pulau ini ketika hari raya tiba, mereka datang beramai-ramai ke pohon cempaka putih itu? Lalu sambil memetik bunganya, di bawah pohon cempaka putih itu pula mereka saling melepas rindu. Mereka bercanda atau bercerita setelah sekian lama tak saling bertemu. Bahkan banyak anak-anak muda desa ini yang mengikat cinta dan kasihnya di bawah pohon cempaka putih itu. Bukankah kita yang tua-tua selama ini telah begitu tenteram menyaksikan semua itu? Oh, rasanya tidak mungkin kehidupan di desa ini bisa bercahaya tanpa pohon cempaka putih itu. Sungguh. Sekali lagi saya mohon, Pak Kepala Desa, saya mohon jangan ditebang.”<br /><br />Orang tua itu menarik nafas. Sekarang matanya terpejam. Dan dia menyandarkan kepalanya dengan lunglai di sandaran kursi tempat dia duduk.<br /><br />Saya masih diam. Sementara keringat mulai melembabkan leher kemeja dinas saya. Saya perhatikan sekujur tubuh tua itu dengan lebih seksama. Saya nikmati gerak nafas yang kian kembang kempis ketika dia dengan agak kesulitan meredakan batuk yang tiba-tiba menyerangnya. Dan ini semakin mengingatkan saya pada kerbau ringkih yang menapaki jalan licin dan menanjak. Sementara sang sais dengan suara parau memukul-mukulkan ujung cemetinya dari atas gerobak yang berkreat-kreot. Di atas, matahari seperti hendak melelehkan daun-daun dan segala pepohonan.<br /><br />Saya sodorkan gelas teh saya yang belum sempat saya minum. Tapi orang tua itu menolak dengan mengembangkan telapak tangan kanannya. Lalu tangan itu menekan dadanya. Saya menyulut sebatang rokok.<br /><br />Sementara di ruang sebelah, para staf saya sibuk dengan suara-suara mesin ketiknya yang kacau. Sibuk dengan obrolan-obrolan dan kelakar bersama penduduk desa yang sedang mengurus pembayaran ganti rugi pembebasan tanahnya. Suara mereka ribut. Mendengung bagai suara lebah mencari sarang.<br /><br />“Setelah dapat uang ini, bapak mau beli apa?” Kepala Urusan Pembangunan yang ruangannya persis di sebelah kanan ruangan saya terdengar bertanya entah kepada siapa.<br /><br />“Tidak tahu pak, utang saya banyak. Paling-paling habis di situ.”<br /><br />“Kenapa banyak utang?”<br /><br />“Yah namanya petani kecil begini, Pak. Hasil kebun saja tidak cukup dimakan. Apalagi anak saya banyak. Mana beli pakaiannya. Mana bayar biaya sekolahnya. Payah, Pak.”<br /><br />“Bapak tidak ikut KB?”<br /><br />“Wah terlambat, Pak. Ha ha ha…, dan zaman-zaman pengantenan saya dulu belum ada KB seperti sekarang. Hahaha…”<br /><br />“O, ya ya saya lupa hahaha…. Nah, kalau bapak yang ini, mau diapakan nanti uangnya?”<br /><br />“Hmmm… rencananya saya mau simpan di bank, Pak. Tapi anak-anak minta beli TV baru. Istri saya nyuruh beli motor biar bisa dipakai ngojek. Yah, masih bingung saya.”<br /><br />“Hahaha…, jangan lama-lama bingungnya lho, Pak. Berbahaya. Hahaha….”<br /><br />“Ah, bapak ini ada-ada saja….”<br /><br />Di sebelahnya lagi, di ruang Kepala Urusan Keuangan, obrolan yang sama juga tak kalah ramainya.<br />“Mau diapakan nanti uangnya, bu?”<br /><br />“Saya mau buka warung saja, Pak. Saya tidak kuat kerja yang lain. Sejak suami saya meninggal, kebun itu saya suruh orang lain mengerjakannya. Bagi hasil begitu.”<br /><br />“Apa selama ini hasilnya cukup?”<br /><br />“Ya dicukup-cukupkan, Pak. Habis mau bagaimana lagi? Anak-anak saya masih kecil-kecil. Belum bisa menggantikan ayahnya untuk mengerjakan kebun.”<br /><br />“Sekarang bagaimana perasaan ibu?”<br /><br />“Aduh, bagaimana ya? Sebenarnya sayang juga kebun itu saya lepas. Rasanya ada dosa sama almarhum suami saya. Dulu kebun itu kami beli dengan tabungan kami sejak masih pengantin baru. Tapi bagaimana ya? Orang katanya ini demi kepentingan orang banyak, yah, saya iklas saja.”<br /><br />Obrolan-obrolan seperti itu berlangsung terus. Sambung-menyambung Ribut. Bagai suara lebah madu mencari sarang. Mendengung di setiap sudut kantor saya.<br /><br />Saya mengisap rokok sedalam-dalamnya. Gumpalan asap yang keruh itu terasa mendesak di dada. Menekan sampai ke rusuk-rusuk. Nyaris saya tersedak. Lalu rokok itu saya kucekkan di asbak.<br /><br />Kembali saya pandangi kedua mata cekung itu. Saya mencoba mencari sesuatu di sana. Sesuatu yang dapat dijadikan kekuatan untuk membantu bibir saya mengucapkan sebuah jawaban. Kami jadi saling pandang. Saya lihat bibir bawah mata cekung itu bergetar. Tapi saya pandangi terus. Sampai kekuatan itu saya dapatkan dan berkumpul di ubun-ubun saya. Menjalar ke pipi saya, lalu ke mulut saya. Kemudian akhirnya meletus dengan lirih dan saya sendiri nyaris tak mendengar suara saya.<br /><br />“Tidak. Pohon cempaka putih itu harus ditebang. Kalau tidak, pohon itu akan mengganggu kelancaran pembangunan proyek itu. Maaf, Pak Tua. Besok pagi kita akan menebangnya!”<br /><br />Lalu orang tua itu saya tinggalkan. Saya keluar dari ruang kerja saya. Masih banyak sekali proyek yang harus ditangani lagi. Saya kekurangan waktu!</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-78435810697215059572009-05-17T14:52:00.003+08:002009-05-18T13:27:38.903+08:00Teater dalam Sekejap dan Penonton yang Pecah<div style="text-align: justify;"><a href="http://teateribed.blogspot.com/"><span style="font-weight: bold;">Oleh: Ibed Surgana Yuga<br /><br /></span></a>Teater mati setelah pementasannya selesai. Sedangkan film tidak. Sebaliknya, ada yang bilang teater "mengalami kehidupannya" dalam waktu yang panjang di kepala penonton, justru setelah pementasannya selesai.<br /><br />Pertanyaannya, berapa banyakkah penonton teater kontemporer Indonesia yang mempunyai pengalaman menonton seperti itu? Berapa banyak kelompok teater yang mampu membawa penonton ke dalam pengalaman yang demikian?<br /><br /><span class="fullpost">Bukan wacana baru lagi bahwa telah banyak usaha yang dilakukan para kreator teater untuk memposisikan penonton sebagai "yang bukan sekadar penonton", yang tidak selesai hanya pada tataran melihat dan mendengar pementasan yang ditontonnya. Para kreator teater mencoba memposisikan penonton sebagai bagian dari kesatuan utuh peristiwa teater. Sudah sering ditulis tentang gebrakan Antonin Artaud yang meniadakan perbedaan antara aktor dan penonton, yang berarti meniadakan jarak antara keduanya. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana dramatis seperti aktor. Dalam dunia teater kontemporer di Indonesia, beberapa kreator teater mencoba membangun spirit ritual dalam pementasan-pementasan yang digelarnya, sebagaimana yang terjadi dalam teater-teater tradisional daerah Indonesia. Dan banyak lagi konsep lain yang pada dasarnya bertujuan meniadakan jarak antara panggung dan penonton.<br /><br />Namun usaha-usaha tersebut agaknya tidak (atau jarang) menemukan jalan yang mulus. Dalam hubungannya dengan penonton, teater kontemporer Indonesia juga sedang menghadapi suatu kenyataan di luarnya, yang kian menjauhkan teater dari penonton. Salah satu kenyataan itu adalah suatu sistem bernama televisi, yang jauh lebih berhasil mendekatkan dirinya dengan penonton. Televisi telah dengan sukses menciptakan ritual dengan pemirsanya. Dalam ruang yang sama dengan ruang pemirsa televisi itu, seakan sangat sulit untuk mengatakan bahwa penonton ("yang benar-benar penonton") teater kontemporer Indonesia itu ada – bahkan untuk sekadar membayangkannya sekali pun.<br /><br />Banyak intelektual yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami situasi sosiokultural yang mengambang. Sudah sering kita dengar wacana tenatng bangsa Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang "tradisional bukan, modern pun bukan". Dalam keadaan seperti itu, identitas manusia di dalamnya sangat sulit untuk dibaca. Manusia seperti pecahan-pecahan dari berbagai benda berbeda (bentuk, fungsi, sejarah), yang berserak di satu tempat, yang beberapa pecahan lagi hilang entah ke mana. Pecahan-pecahan seperti itu sulit untuk dibentuk menjadi suatu benda utuh yang – dengan referensi – dapat dikenali. Akan sangat baik jika ia bisa menjadi suatu benda baru yang jelas keberadaan, fungsi, sejarah, dan maknanya. Namun kenyataan mengatakan tidak. Harus dicatat pula bahwa fenomena ini bukan hanya terjadi di wilayah urban perkotaan, namun juga di pelosok-pelosok yang sering diklaim kehidupan manusianya masih tradisional, masih asli.<br /><br />Di sana pula, di ranah sosiokultural yang mengambang itu, para kreator teater menjalani kesehariannya dan berkarya. Mereka hidup tidak dalam posisi yang netral, dalam artian bahwa mereka juga menjadi bagian dari situasi mengambang itu. Posisi yang demikian kemudian sering menggiring banyak kreator teater untuk berkarya dengan pretensi berdialog dengan penonton melalui bahasa yang universal. Bahasa yang konon dimengerti semua orang. Padahal seperti apa bahasa yang universal itu, tidak ada definisi maupun bentuknya yang konkret. Teater pun menjadi sesuatu yang abstrak. Dan seturut dengan Goenawan Mohamad dalam Seks, Sastra, Kita (1981), teater yang abstrak adalah sesuatu yang mustahil. Ia akan kehilangan dirinya sendiri.<br /><br />Maka pementasan teater menjelma sebagai "budaya baru yang asing" bagi penonton. Di atas panggung, berbagai bentuk spektakel yang dengan susah-payah diciptakan kreator adalah dunia yang aneh, membingungkan, atau bahkan memuakkan bagi penonton. Pementasan teater tak ubahnya mimpi buruk yang ingin segera dilewatkan dari tidur penonton. Lalu ketika pementasan selesai, penonton akan begitu saja menganggapnya sebagai bukan peristiwa penting, atau sekadar mahluk yang numpang lewat di depan matanya. Teater yang demikian bagi penonton bisa jadi hanya peristiwa sepintas lalu yang dengan mudah dilupakan, atau semacam basa-basi, say hallo semata. Teater bergerak dalam sekejap mata, layaknya iklan di televisi. Tak ada sisa yang tertinggal di saku penonton, untuk mereka periksa di rumah. Di sinilah pementasan teater mengalami kematiannya. Apalagi didukung dengan keberadaan bangsa Indonesia yang telah lama dididik oleh rezim yang – sering tanpa disadari – menerapkan sistem pendidikan yang menggiring ke arah pelupaan sejarah dan budaya. Peristiwa besar yang berbulan-bulan dan memakan banyak korban saja begitu mudah dilupakan, apalagi pentas teater yang tidak sampai semalam suntuk.<br /><br />Pementasan yang sok berbahasa universal (dan abstrak) hanya akan semakin menyerpih pecahan-pecahan tubuh penonton. Masih untung jika masih ada yang mau datang untuk menonton pementasan selanjutnya. Itu pun biasanya hanya teman-teman dekat saja, yang datang dengan simpati pertemanan, dan belum tentu mau merelakan empatinya terhadap apa yang mau disampaikan pementasan. Atau penonton yang mengalami keterpecahan lain, yaitu penonton yang terpecah antara mengkritisi dari segi kualitas artistik (biasanya terjadi pada penonton yang mempunyai latar belakang pengetahun seni teater), dan di saat yang sama mencoba menyelami wacana atau pesan yang hendak disampaikan pementasan. (Hati-hati dengan penonton jenis ini! Belum tentu ia memahami dan mengapresiasi betul apa yang terjadi di atas panggung.)<br /><br />Masih menurut Goenawan Mohamad, teater tradisional maupun teater kontemporer Indonesia adalah bentuk-bentuk ekspresi "minoritas". Semuanya adalah teater-teater "minoritas", yang dengan demikian harus memilih publiknya sendiri, yang intim dengannya. Saya membacanya sebagai teater yang mampu "berbahasa" sesuai dengan karakter (hingga yang spesifik sekali pun), dan menjadi bagian yang integral, guyub, dari ruang tempatnya dan penontonnya yang spesifik.<br /><br />Beberapa kreator teater kontemporer Indonesia akhir-akhir ini masih melakukan berbagai eksplorasi baru guna melakukan dialog dengan penonton yang saya sebut pecah di atas. Sejauh yang pernah saya baca misalnya, sebuah tulisan Yudi Ahmad Tajudin (Teater Garasi) yang berpendapat bahwa dalam situasi sosiokultural yang setidaknya persis dengan apa yang saya paparkan di atas, yang menurut Yudi pada dasarnya mempunyai sensibilitas ruangnya tersendiri, dia menemukan tawaran-tawaran baru dalam proses kreatif teaternya. Selain itu, dalam sebuah koran nasional edisi Minggu, Radhar Panca Dahana pernah menulis bahwa kecenderungan pementasan beberapa kelompok teater kontemporer Indonesia membuktikan teater sebagai bahasa teraktual dalam merepresentasikan kenyataan sosial, yang mana di dalamnya terdapat manusia-manusia yang kehilangan identitas.<br /><br />Pendapat atau sikap dua tokoh di atas mendapat peluang yang cukup besar untuk menemukan pembenarannya dalam ruang kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa ruang serta kenyataan yang ada di dalamnya seringkali menunjukkan gejala-gejala dan karakter-karakter yang spesifik. Semuanya tidak dapat disederhanakan. Dan saya kira adalah sebuah kecelakaan yang fatal jika kreator teater menyederhanakan penonton.</span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3235955589848932059.post-23728372650014612292009-05-16T23:54:00.009+08:002009-05-18T13:27:56.443+08:00Teater-Teater Penjara Manusia<div style="text-align: justify;"><span style="font-weight: bold;"><a href="http://teateribed.blogspot.com/">Oleh: Ibed Surgana Yuga<br /><br /></a></span>Teater adalah manusia itu sendiri. Ia bukan hanya media atau bentuk ekspresi bagi kebebasan dan eksistensi diri manusia. Bukan pula sekadar wadah untuk tumpahan tetek-bengek kegelisahan. Biasanya ketika di tahap awal, memang ada suatu pemahaman bahwa suatu mahluk yang bernama pribadi manusia memasuki dunia teater guna mengekspresikan kegelisahan serta kreativitas tentang kebebasan serta eksistensi dirinya. Namun sebenarnya lebih dari itu. Dalam teater, disadari atau tidak, pribadi manusia yang merupakan “manusia-kosong”, yang serupa wadah dalam keadaan kosong, sebenarnya tengah mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan itu: dirinya sendiri – untuk menjadi manusia yang utuh. Maka, teaterlah eksistensi dirinya itu. Teaterlah dirinya.<br /><br /><span class="fullpost">Apa jadinya jika dalam dunia teater itu manusia-kosong tidak menemukan dirinya? Apa jadinya jika yang ditemukan adalah “diri-diri-lain” yang tidak sesuai dengan wadah-kosong yang dimilikinya? Bagaimana pula jika diri-diri-lain dipaksakan dengan represi untuk masuk ke dalam wadah-kosong miliknya itu? Jawabannya: tetap saja kekosongan itu yang ada! Manusia-kosong yang diisi dengan diri-lain adalah sama dengan kosong. Pribadi itu tetap saja gamang dalam kekosongan, tersiksa dalam jerat diri-lain. Sebab kekosongan adalah penjara belaka.<br /><br />Maka, teater adalah penjara!<br /><br /><div style="text-align: center;">* * *<br /><br /></div><span class="fullpost">Diri-diri-lain adalah mereka yang datang dari luar, juga dari dalam, tubuh teater. Dari luar, kekuatan-kekuatan sosial-politik menjelma diri-diri-lain, menjadi semacam virus, mengaduk-aduk tubuh teater, termasuk manusia-kosong di dalamnya – bahkan mungkin yang telah berisi sekali pun. Demikian pula diri-diri, organ-organ, yang telah menjadi “milik sah”, menjadi bagian, dari tubuh kompleks teater. Tanpa disadari, banyak dari mereka yang menciptakan suasana mencekam, ketersekapan, bagi pribadi manusia lainnya dalam teater. Mereka memiliki kekuatan – atau setidaknya potensi – untuk melakukan penetrasi ke dalam pribadi manusia dalam teater – yang menjadi penggerak tubuh teater – lalu mengombang-ambingnya ke dalam ketidakjelasan eksistensi, ke dalam penjara.<br /><br />Lihatlah misalnya dalam lintasan sejarah teater tradisional, di mana kita mengenal jenis teater keraton/istana yang merupakan tanda kekuatan patronase penguasa terhadap dunia teater – dan seni pada umumnya. Jakob Sumardjo (1992) mencatat bahwa seniman yang terpilih dalam menggerakkan jenis teater tersebut diangkat sebagai pegawai atau aparat berjenjang kepangkatan, dan merupakan pelengkap istana yang di antaranya melaksanakan tugas-tugas yang menyangkut kebesaran atau kemuliaan raja. Konon mereka adalah para seniman “profesional”, yang tentunya memiliki kualitas kesenimanan yang tinggi. Dengan demikian, dapat dirunut dengan logika (logika kekuasaan!) jika dikatakan pada akhirnya seni teater istana melahirkan pembakuan-pembakuan, konvensi-konvensi, yang menjadi standar pokok mutu teater ketika itu. Dan biasanya (atau tentunya?), semua adalah dalam rangka menyenangkan hati raja; menyesuaikan dengan selera raja; mendukung kebijakan raja; dan lain sebagainya, yang menunjukkan sokongan terhadap keagungan kuasa raja.<br /><br />Demikianlah narasi sejarah kekuasaan (baca: kekuasaan raja) melakukan legitimasi suatu bentuk teater dengan meminjam wadah-kosong, pribadi manusia, dalam tubuh teater. Disadari atau tidak, pribadi itu – yang sebenarnya memiliki otentisitas; dan lebih penting lagi, memiliki hasrat pencarian diri – telah diarahkan pada suatu pilihan tertentu: pilihan sebagai alat pengagung-agungan raja. Maka teater bukanlah diri pribadi seniman itu. Teater adalah diri sang raja.<br /><br />Lalu di mana tempat bagi otentisitas pribadi sang seniman? Arah mana yang bisa ditelusuri oleh hasrat pencarian dirinya? Adakah sang seniman telah menemukan isi bagi wadah-kosongnya, dalam teater istana? Berpuaskah ia dengan pangkat, fasilitas, bahkan istri, yang diimbalkan oleh istana?<br /><br />Saya tidak hendak memungkiri sejarah yang mengatakan bahwa istana, selain sebagai pusat pemerintahan, adalah juga pusat kebudayaan. Juga terhadap narasi yang mengatakan bahwa seni istana adalah seni tingkat tinggi, yang telah mencapai puncak-puncaknya sehingga sulit dikembangkan lagi, yang “adiluhung”.<br /><br />Namun, marilah tengok narasi-narasi kecil, narasi-narasi personalitas, di balik narasi besar sejarah. Sejarah yang terus berjalan dan berulang. Dan lihatlah di zaman kita sekarang, juga beberapa dasawarsa lalu, penguasa sebagai penjelmaan arus politik dominan juga menunjukkan taringnya dalam bentuk penetrasi ke dalam pribadi-pribadi manusia, pribadi-pribadi masyarakat. Arus politik dominan juga, menurut Radhar Panca Dahana (2001), mendapatkan kolaboratornya pada atribut-atribut produk globalisasi seperti hiburan, barang konsumtif, dan lainnya, guna mendesak hingga ke tingkat pribadi masyarakat untuk berpaling pada satu pilihan tertentu, baik dalam cara pikir maupun cara hidup.<br /><br />Ini ironis! Suasana penetrasi yang memaksa, merepresi, pribadi untuk mengisi wadah-kosong mereka dengan diri-diri yang ditawarkan penetrator-penetrator itu. Implikasinya di sini, menurut Radhar, di antaranya adalah kebebasan pribadi manusia yang dilenyapkan. Ini artinya otentisitas, eksistensi, pribadi manusia itu disingkirkan begitu saja. Ia diganti dengan eksistensi-eksistensi-lain.<br /><br />Pribadi-pribadi masyarakat di antaranya adalah para insan perteateran. Lihatlah desakan-desakan itu terjadi ketika bagaimana Rendra dilarang pentas hingga menjelang akhir tahun 1977. Demikian pula dengan nasib beberapa pementasan Teater Koma di bawah N. Riantiarno. Dan banyak lagi daftar – yang barangkali tidak seterang kedua kasus itu – yang menjadi indikasi dibredelnya ruang-ruang untuk pengaktualisasian diri, ditolaknya eksistensi pribadi manusia dalam teater.<br /><br />Suasana serupa yang terkini di antaranya tampak ketika kekuatan penguasa menjelma dalam institusi-institusi akademik yang menyelenggarakan program studi seni teater. Senjata ampuh yang bernama kurikulum melakukan penetrasi terhadap pribadi mahasiswa (baca: manusia-kosong-yang-masih-hijau) yang dengan semangat pencarian yang tinggi – atau sekadar coba-coba atau bahkan pelarian – untuk menemukan dirinya sendiri dalam teater. Mahasiswa diberikan pengajaran (dicekoki?) tertib teater ini-itu oleh kurikulum. Kurikulum yang sebenarnya tidak menyediakan ruang-ruang penjelajahan yang cukup untuk mengenali (apalagi memahami!) tertib-tertib tersebut.<br /><br />Kekhawatiran muncul ketika kondisi kurikulum yang demikian lalu memaksa pribadi mahasiswa untuk bermain hanya di bawah lingkupan tertib-tertib itu. Ini artinya, mahasiswa mesti mengaktualisasikan dirinya dengan tidak keluar atau melabrak tertib-tertib yang ditentukan.<br /><br />Saya tidak hendak mengatakan bahwa pengajaran tertib-tertib tersebut salah atau jelek. Secara ideal, mahasiswa memang harus mengenali dan memahami tertib-tertib itu, lalu dipakai jika memang pas benar dengan wadah-kosong yang dimiliki. Jika tidak pas, dihentikan saja pada posisi sebagai kekayaan cakrawala pengetahuan, lalu cari yang lebih pas. Namun, jika kekhawatiran di atas yang terjadi, maka represi terhadap pribadi mahasiswalah yang tumbuh.<br /><br />Represi semacam ini, menurut pengamatan saya, menyodok ke dalam ruang psikologi pribadi mahasiswa, sehingga menciptakan ketakutan untuk bergerak mencari diri, bahkan hanya dalam tertib-tertib itu. Apalagi ini dikaitkan dengan rasa keterbatasan mahasiswa, rasa kemasih-hijauannya. Dan, ketika jalan keluar dari ketakutan itu tidak ditemukan, maka kegamangan serta rasa ketersekapanlah yang kemudian menyerangnya.<br /><br />Demikianlah, alih-alih mencari diri sendiri, malah terpenjara!<br /><br /></span><div style="text-align: center;"><span class="fullpost">* * *<br /><br /></span></div><span class="fullpost">Pribadi-pribadi manusia yang telah menemukan dirinya dalam teater modern (sebutan “modern” sekadar pembeda dengan teater tradisional kita) dengan berbagai cara ungkap (baca: cara penemuan diri) telah menjadi semacam teladan bagi generasi berikutnya. Sebutlah misalnya Stanislavsky, Brook, Brecht, Grotovsky, Artaud, dan lainnya. Di Indonesia misalnya ada Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, dan sebagainya. Kepada kita, mereka telah menunjukkan kisah cara penemuan diri mereka dalam teater – yang semuanya terwujud dalam konsep, aliran, paham, gaya, atau apalah namanya. Semua telah menjadi kekayaan dan milik sah teater modern. Banyak dari mereka yang menemukan eksistensi diri mereka dengan “memberontak” dari penemuan-penemuan, diri-diri, yang telah ada dan mapan sebelumnya. Tentunya, suatu pemberontakan didasarkan pada rasa ingin lepas – sekecil apapun – dari hal yang diberontak. Dari penjara yang tak memberi kebebasan.<br /><br />Namun demikian, temuan-temuan mereka, hasil-hasil pemberontakan mereka, belum tentu merupakan bentuk yang juga membebaskan bagi generasi selanjutnya. Ia bisa saja menjadi penjara bagi generasi selanjutnya, sebagaimana mereka dulu merasakan demikian pada temuan yang mereka berontak. Maka, Brecht adalah penjara bagi kita jika wadah-kosong kita tidak pas dengan konsep alienasi. Stanislavsky adalah penjara jika konsep pelatihan keaktorannya tidak sesuai dengan pencarian kita. Demikian pula dengan “teror mental” atau “bertolak dari yang ada”-nya Putu Wijaya. Pun yang lainnya.<br /><br />Ada lagi misalnya masalah teater realisme, yang sampai sekarang masih menyisakan perdebatan panjang. Ketika kita di Indonesia mempermasalahkan realisme Barat dan Timur, ketika kita dikatakan tidak memiliki konsep dan bentuk teater realisme yang – secara pola sosial, budaya, pikir, dan sebagainya – benar-benar realisme Indonesia, seperti apakah cara penemuan diri kita, para insan teater Indonesia, yang bergerak pada tataran realisme? Benarkah diri itu telah ditemukan di sana? Tidakkah itu hanya bermain-main saja – yang berarti bermain-main dalam penjara?<br /><br />Ditambah lagi dengan masalah naskah-naskah lakon Indonesia, yang digolongkan dalam realisme, lebih banyak hadir dari sekian dasawarsa yang lalu, lebih merupakan masa lalu. Masihkah ia mencerminkan realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita, jika dimainkan di zaman sekarang tanpa adanya usaha pengadaptasian? Demikian pula dengan naskah terjemahan yang nota bene datang dari realitas hidup orang nun jauh di sana. Seorang Tennesse Williams konon pernah menyatakan bahwa dia tidak merekomendasikan naskah-naskahnya untuk dipentaskan di luar negerinya karena memang tidak akan aktual dan kontekstual. Nah, lalu, adakah naskah baru, yang dapat digolongkan dalam realisme, yang mampu mengakomodir realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita?<br /><br />Jika ada dari kita yang benar-benar suntuk di tataran realisme, pasti akan merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau pun masih merasa enjoy dengan keadaan seperti itu, barangkali karena melihat suatu celah untuk penemuan diri, semestinyalah dirumuskan secara jelas seperti apa penemuan itu. Semestinyalah ditentukan bagian mana dari diri-diri-lain yang cocok dengan wadah-kosong yang dimiliki, dan bagian mana yang mesti digali lagi. Ini penting agar tidak terjadi kegamangan dalam bergerak, agar tidak terjerumus dalam konsep “bermain-main dalam penjara”.<br /><br />Selain memperhatikan konsep dalam, yaitu konsep kerja para pekerja teater, harus diperhatikan juga audiens yang nota bene menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak perteateran Indonesia. Dengan kata lain, bukan hanya para insan pekerja teater yang mesti bebas dari penjara. Audiens juga. Putu Wijaya pernah mencatat: kenyataan yang sering dilupakan adalah bahwa sesungguhnya dalam teater tradisi yang tidak realis, masyarakat merasakan realita jati diri mereka. Jika benar demikian, maka tidak ada salahnya kita mengintip spirit teater tradisi dalam menjauhkan audiens dari penjara.<br /><br />Demikianlah, sering tanpa kita sadari, penjara mengangakan pintunya dalam teater – atau malah kita sudah terkurung di dalamnya. Agaknya kita harus lebih hati-hati lagi menyikapi “kegagahan” kita dalam teater. Jika kita merasa tersiksa di dalamnya, dan kolaborasi antara pribadi dan teater tak mampu mengeluarkannya, saya kira bijak untuk mencari diri di luar teater. Masih banyak ruang.</span></span></div>adminhttp://www.blogger.com/profile/09927680322750165777noreply@blogger.com0