Cinta

Oleh: Boyke SN

Dengan sekian banyak melewati pagi, sekian kali mengenal maunya. Sekian banyak pula kerinduan membelalakkan mata. Dan sekian kali juga kehambaran dalam percintaan.

Kawan, cobalah kembali bongkar rekaman hari-hari beberapa tahun lewat. Curahan peluh bergemuruh deras begitu saja, tanpa ada rsa ngilu ataupun dingin yang menggilkan. Semua berawal atas cinta, cinta tiada arah kemana-mana. Kebugaranpun tercipta dengan sederhana. Aku tahu, kita telah menegak alkohol sari bayangan berkali-kali menjelang tidur hingga tak mengenal lagi wajah siapa-siapa. Samar dan mencurigakan. Tiap gerak adalah ancaman. Tiap kata adalah petaka. Diam ternyata menjadi persoalan. Pengadilan pertanggungjawaban moral.

Entah berapa sudah butir benih ditebar disisi trotoar yang kita pungut dari segala arah kepenatan. Berapa sudah waktu dipersembahkan denga tata cara sendiri. Mempertajam dengan asahan kesuntukan. Akankah pernah berharap tumbuh menjadi pohon-pohon berbuah ranum memenuhi kota, atau belantara gedung-gedung berlantai seribu terlihat dari penjuru manapun. Juga sebagai tanda ancer-ancer bila tersesat?

Aku sebenarnya sangsi akan hal itu, sebab aku lebih menyukai percintaan dari pada dicintai. Dan aku hanya meyakini apapun bentuk terbaik bermula akan rasa percintaan.
Bukan melalui kotak-kotak teka-teki taktik membungkus cinta untuk memperkasakan diri.

O, berapa sudah butir-butir benih terbengkalai kemudian mati pada persengketaan pikiran masing-masing?

Aku sadar, bagaimana keinginan-keinginan membakar menyulut ketercapaian. Bagaikan terbakar matahari ditengah gurun. Darahpun syukur sebagai pelega.

Disisi lain kau terlalu paham arti cinta. Tentang kejujuran, tentang ketulusan, tentang menghargai, tentang menghormati, keadilan, perdamaian, soal-soal pemerataan, soal-soal kekejaman, soal-soal kediktatoran, dan sampai mampu merangkum kedalam unsur-unsur keindahan. Menjadikan wujud diri sejati. Seolah telah mampu menyelesaikannya.

Tetapi kemelut mendorong gelora, cinta cuman pahatan lambang terpampang dalam dada. Buih-buih disudut-sudut bibir. Serta uap napas penuhi udara.

Dalam cuaca seperti ini, jika kau membuka jendela katakan pada matahari pertama dan katakan pula pada burung-burung kecil yang hinggap didahan bunga halamanmu. Bahwa kutitipkan segala rindu, rindu memetik bunga segar yang tak tumbuh oleh tatapan hampa. Juga tanyakan pada embun yang segera beranjak pergi.

Dilangit mana berarak berubah awan. Adakah kita bersulang diperjamuan itu...?

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra