Jejak-Jejak dalam Kata

Oleh: Wendra Wijaya

Tanah basah hujan pertama senja itu kembali membumbungkan ingatanku akan dirimu. Kembali menciptakan jejak-jejak sang pejalan jauh. Ia tetap mengada, meski tersimpan rapi di balik peraduannya.

Hari ini, hari yang kesekian, kembali aku mencari jejak-jejak dalam kata itu. Sebuah isyarat keberadaan sang pejalan jauh yang kini tak lagi pernah kutemui.

Sungguh, ia begitu misterius. Menyimpan rapi rahasia keberadaannya di tempat yang entah. Di sebuah masa dimana dunia tak berbatas, tetapi tetap terasing. Di sebuah masa dimana ruang-ruang semakin padat, (mungkin) tanpa menyisakan sepatah kata di dalam keheningan hatinya.

Barangkali, ia telah meninggalkan jejak-jejak itu. Barangkali juga, ia telah meninggalkan sepucuk surat yang akan mengantarkanku kembali ke peraduan hitamnya. Bercengkrama, menjalin sebuah rasa dalam setiap perbedaan yang ada.

Aku dan secuil hatiku masih menyisakan satu ruang untuknya. Sebuah ruang yang tetap terkunci, terjaga dan mengada di kedalaman hatiku. Ya, aku ingin tetap menjaga ingatan tentang dirinya, meski hanya melalui sepatah kata dan sebait doa.

Setelah tanah basah hujan pertama senja itu, ijinkan aku tetap melangkah. Berusaha mencari bayang-bayang yang semakin jauh meninggalkanku….

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra