Teater dalam Sekejap dan Penonton yang Pecah

Oleh: Ibed Surgana Yuga

Teater mati setelah pementasannya selesai. Sedangkan film tidak. Sebaliknya, ada yang bilang teater "mengalami kehidupannya" dalam waktu yang panjang di kepala penonton, justru setelah pementasannya selesai.

Pertanyaannya, berapa banyakkah penonton teater kontemporer Indonesia yang mempunyai pengalaman menonton seperti itu? Berapa banyak kelompok teater yang mampu membawa penonton ke dalam pengalaman yang demikian?

Bukan wacana baru lagi bahwa telah banyak usaha yang dilakukan para kreator teater untuk memposisikan penonton sebagai "yang bukan sekadar penonton", yang tidak selesai hanya pada tataran melihat dan mendengar pementasan yang ditontonnya. Para kreator teater mencoba memposisikan penonton sebagai bagian dari kesatuan utuh peristiwa teater. Sudah sering ditulis tentang gebrakan Antonin Artaud yang meniadakan perbedaan antara aktor dan penonton, yang berarti meniadakan jarak antara keduanya. Ia ingin agar penonton juga mengalami suasana dramatis seperti aktor. Dalam dunia teater kontemporer di Indonesia, beberapa kreator teater mencoba membangun spirit ritual dalam pementasan-pementasan yang digelarnya, sebagaimana yang terjadi dalam teater-teater tradisional daerah Indonesia. Dan banyak lagi konsep lain yang pada dasarnya bertujuan meniadakan jarak antara panggung dan penonton.

Namun usaha-usaha tersebut agaknya tidak (atau jarang) menemukan jalan yang mulus. Dalam hubungannya dengan penonton, teater kontemporer Indonesia juga sedang menghadapi suatu kenyataan di luarnya, yang kian menjauhkan teater dari penonton. Salah satu kenyataan itu adalah suatu sistem bernama televisi, yang jauh lebih berhasil mendekatkan dirinya dengan penonton. Televisi telah dengan sukses menciptakan ritual dengan pemirsanya. Dalam ruang yang sama dengan ruang pemirsa televisi itu, seakan sangat sulit untuk mengatakan bahwa penonton ("yang benar-benar penonton") teater kontemporer Indonesia itu ada – bahkan untuk sekadar membayangkannya sekali pun.

Banyak intelektual yang berpendapat bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami situasi sosiokultural yang mengambang. Sudah sering kita dengar wacana tenatng bangsa Indonesia yang tengah berada dalam situasi yang "tradisional bukan, modern pun bukan". Dalam keadaan seperti itu, identitas manusia di dalamnya sangat sulit untuk dibaca. Manusia seperti pecahan-pecahan dari berbagai benda berbeda (bentuk, fungsi, sejarah), yang berserak di satu tempat, yang beberapa pecahan lagi hilang entah ke mana. Pecahan-pecahan seperti itu sulit untuk dibentuk menjadi suatu benda utuh yang – dengan referensi – dapat dikenali. Akan sangat baik jika ia bisa menjadi suatu benda baru yang jelas keberadaan, fungsi, sejarah, dan maknanya. Namun kenyataan mengatakan tidak. Harus dicatat pula bahwa fenomena ini bukan hanya terjadi di wilayah urban perkotaan, namun juga di pelosok-pelosok yang sering diklaim kehidupan manusianya masih tradisional, masih asli.

Di sana pula, di ranah sosiokultural yang mengambang itu, para kreator teater menjalani kesehariannya dan berkarya. Mereka hidup tidak dalam posisi yang netral, dalam artian bahwa mereka juga menjadi bagian dari situasi mengambang itu. Posisi yang demikian kemudian sering menggiring banyak kreator teater untuk berkarya dengan pretensi berdialog dengan penonton melalui bahasa yang universal. Bahasa yang konon dimengerti semua orang. Padahal seperti apa bahasa yang universal itu, tidak ada definisi maupun bentuknya yang konkret. Teater pun menjadi sesuatu yang abstrak. Dan seturut dengan Goenawan Mohamad dalam Seks, Sastra, Kita (1981), teater yang abstrak adalah sesuatu yang mustahil. Ia akan kehilangan dirinya sendiri.

Maka pementasan teater menjelma sebagai "budaya baru yang asing" bagi penonton. Di atas panggung, berbagai bentuk spektakel yang dengan susah-payah diciptakan kreator adalah dunia yang aneh, membingungkan, atau bahkan memuakkan bagi penonton. Pementasan teater tak ubahnya mimpi buruk yang ingin segera dilewatkan dari tidur penonton. Lalu ketika pementasan selesai, penonton akan begitu saja menganggapnya sebagai bukan peristiwa penting, atau sekadar mahluk yang numpang lewat di depan matanya. Teater yang demikian bagi penonton bisa jadi hanya peristiwa sepintas lalu yang dengan mudah dilupakan, atau semacam basa-basi, say hallo semata. Teater bergerak dalam sekejap mata, layaknya iklan di televisi. Tak ada sisa yang tertinggal di saku penonton, untuk mereka periksa di rumah. Di sinilah pementasan teater mengalami kematiannya. Apalagi didukung dengan keberadaan bangsa Indonesia yang telah lama dididik oleh rezim yang – sering tanpa disadari – menerapkan sistem pendidikan yang menggiring ke arah pelupaan sejarah dan budaya. Peristiwa besar yang berbulan-bulan dan memakan banyak korban saja begitu mudah dilupakan, apalagi pentas teater yang tidak sampai semalam suntuk.

Pementasan yang sok berbahasa universal (dan abstrak) hanya akan semakin menyerpih pecahan-pecahan tubuh penonton. Masih untung jika masih ada yang mau datang untuk menonton pementasan selanjutnya. Itu pun biasanya hanya teman-teman dekat saja, yang datang dengan simpati pertemanan, dan belum tentu mau merelakan empatinya terhadap apa yang mau disampaikan pementasan. Atau penonton yang mengalami keterpecahan lain, yaitu penonton yang terpecah antara mengkritisi dari segi kualitas artistik (biasanya terjadi pada penonton yang mempunyai latar belakang pengetahun seni teater), dan di saat yang sama mencoba menyelami wacana atau pesan yang hendak disampaikan pementasan. (Hati-hati dengan penonton jenis ini! Belum tentu ia memahami dan mengapresiasi betul apa yang terjadi di atas panggung.)

Masih menurut Goenawan Mohamad, teater tradisional maupun teater kontemporer Indonesia adalah bentuk-bentuk ekspresi "minoritas". Semuanya adalah teater-teater "minoritas", yang dengan demikian harus memilih publiknya sendiri, yang intim dengannya. Saya membacanya sebagai teater yang mampu "berbahasa" sesuai dengan karakter (hingga yang spesifik sekali pun), dan menjadi bagian yang integral, guyub, dari ruang tempatnya dan penontonnya yang spesifik.

Beberapa kreator teater kontemporer Indonesia akhir-akhir ini masih melakukan berbagai eksplorasi baru guna melakukan dialog dengan penonton yang saya sebut pecah di atas. Sejauh yang pernah saya baca misalnya, sebuah tulisan Yudi Ahmad Tajudin (Teater Garasi) yang berpendapat bahwa dalam situasi sosiokultural yang setidaknya persis dengan apa yang saya paparkan di atas, yang menurut Yudi pada dasarnya mempunyai sensibilitas ruangnya tersendiri, dia menemukan tawaran-tawaran baru dalam proses kreatif teaternya. Selain itu, dalam sebuah koran nasional edisi Minggu, Radhar Panca Dahana pernah menulis bahwa kecenderungan pementasan beberapa kelompok teater kontemporer Indonesia membuktikan teater sebagai bahasa teraktual dalam merepresentasikan kenyataan sosial, yang mana di dalamnya terdapat manusia-manusia yang kehilangan identitas.

Pendapat atau sikap dua tokoh di atas mendapat peluang yang cukup besar untuk menemukan pembenarannya dalam ruang kehidupan bangsa Indonesia saat ini. Namun harus dipertimbangkan juga bahwa ruang serta kenyataan yang ada di dalamnya seringkali menunjukkan gejala-gejala dan karakter-karakter yang spesifik. Semuanya tidak dapat disederhanakan. Dan saya kira adalah sebuah kecelakaan yang fatal jika kreator teater menyederhanakan penonton.

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra