Memoir Sang Jenderal

(Transformasi Cerpen “Darah Itu Merah, Jenderal” Seno Gumira Ajidarma)

Oleh: Ibed Surgana Yuga

Hanya suara-suara tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank dan sebagainya.

Lalu di sela-selanya ada sebuah percakapan tentang kemenangan.

Suara I:
Jenderal! Jenderal! Presiden musuh sudah tertawan!

Suara II:
Siapa?

Suara I:
Ribalta!

Suara I:
Orang seperti ini presiden? Hahahaha!

Suara II:
Hahahaha!

Semuanya:
Hahahaha! Hahahaha! Hahahaha ....

Tawa itu begitu lama sehingga lambat-laun kedengaran aneh dan mengerikan.

Sepanjang tawa itu, tersaji tayangan gambar beberapa orang berseragam tentara berpose bersama mayat seorang tawanan yang dipasangi topi, dan pada mulutnya dipasangi rokok, layaknya foto para pemburu berpose bersama macan hasil buruan.

Menyusul gambar berbagai macam pembangunan fisik: pengaspalan jalan, pembuatan jembatan, bendungan, patung-patung pahlawan, jalan layang, gedung-gedung pencakar langit, dan sebagainya.

Lagu-lagu kebangsaan mengiringi.

Gambar-gambar melaju cepat, menimpa tubuh tegap seorang lelaki yang setengah berbaring di kursi malas yang panjang. Lelaki memakai piyama dan berkacamata hitam itu adalah Sang Jenderal yang tengah menikmati masa pensiunnya, masa santainya.

Di sekelilingnya, tembok-tembok nan tinggi dilengkapi kawat berduri dan tempelan pecahan kaca di ujung atasnya. Hanya ada sebuah celah kecil untuk jalan masuk. Sebuah celah yang hanya cukup untuk tubuh satu orang dalam posisi membungkuk. Di luar celah sesekali terlihat beberapa tentara dari berbagai satuan, dengan senjata di tangan, mondar-mandir melakukan penjagaan.

Beberapa saat, datang seorang tentara membawa sebatang cerutu untuk Sang Jenderal. Setelah menyalakannya untuk Sang Jenderal, orang itu memberi hormat militer, lalu pergi.

Seiring Sang Jenderal menikmati cerutunya, seiring lagu-lagu kebangsaan yang terus mengalun, terdengar suara sebuah rekaman wawancara seorang wartawan dengan Sang Jenderal:

Sang Jenderal:
Hidup adalah perjuangan. Dan perjuangan seorang prajurit sejati seperti saya, adalah perjuangan antara hidup dan mati.

Wartawan:
Banyak anak buah Anda yang kini jadi pejabat, sedangkan Anda tidak. Ada perasaan kesal?

Sang Jenderal:
Kenapa harus kesal? Namanya dunia kan memang begitu. Masa’ saya harus iri?

Wartawan:
Anak-anak Anda berbisnis?

Sang Jenderal:
Tak ada yang jadi tentara. Semua kerja di swasta. Yah, pengusaha kecil-kecilan. Pensiunan kan sudah tak bisa memberi fasilitas.

Wartawan:
Mengapa tidak memakai fasilitas anak buah Anda yang kini jadi pejabat?

Sang Jenderal:
Ah, malu. Iya kalau dikasih. Kalau tidak? Kan malu-maluin. Walau hal seperti itu sudah lumrah di sini, tapi tidak saya lakukan.

Ya, ada juga yang membantu, satu dua orang. Tapi kan terbatas juga. Namanya juga manusia. Sering ada yang lupa. Padahal dulu mereka ngemis-ngemis ikut saya. Setelah jadi orang, hanya memikirkan grupnya sendiri saja.

Ya, macam itulah.

Seorang tentara yang lain, dengan seragam dari satuan yang berbeda, datang mengahadap, menyajikkan segelas minuman untuk Sang Jenderal. Orang itu juga menghormat ala militer sebelum pergi.

Wartawan:
Waktu masih menjabat banyak sabetannya dong?

Sang Jenderal:
Bukan sabetan! Itu namanya take and give. Jangan katakan itu tempat “basah”. Kalau saya menentukan persentase, itu baru basah namanya. Dan saya salah. Kalau dikasih, ya terserah. Itu rezeki namanya. Kalau tidak, ya sudah.

Demi Tuhan saya bersumpah, saya tidak pernah dan tidak akan memeras orang. Tapi kalau dikasih stick golf, ya saya terima. Terus terang saja. Ya, masa’ kalau jadi pejabat tidak dapat hal yang begitu.

Jujur saja. Pejabat kan kayanya dari situ. Gaji kecil, tapi tip-nya yang gede.

Wartawan:
Tip Anda banyak ketika itu?

Sang Jenderal:
Lho, jujur saja memang begitu. Sekarang saya punya rumah, punya mobil, itu semua dikasih. Saya tidak malu. Ada orang datang sambil bilang, “Pak ini mobil, terima kasih saya dikasih proyek.” Ya, saya terima saja. Tidak usah malu.

Segala sajian gambar dan suara berhenti.

Beberapa orang tentara, dari berbagai satuan, datang menggotong kursi dan meja makan. Yang lain datang membawa beberapa porsi makanan dan minuman untuk makan siang Sang Jenderal.

Setelah selesai segala persiapan, para tentara memberi hormat dan berlalu.

Sang Jenderal membuka kacamata hitamnya, lalu makan dengan lahapnya.

Sang Jenderal:
(Setelah makan beberapa suap) Lama-lama hidup santai seperti ini bosan juga. Tak ada gejolak apa-apa. Belakangan saya menjadi terlalu cepat marah karena kurang pekerjaan. Tepatnya, tidak pernah lagi bertempur. Tak ada konflik yang bisa diselesaikan dengan dor-doran senjata.

Ah, betapa sepinya hidup tanpa pertempuran. Hidup terasa hambar. Tak ada yang bisa dikecap sedikit pun.

Terus terang saja, saya memang tidak bisa hidup dalam ketenangan seperti ini. Yah, memang begitulah saya. Saya hanya merasa hidup ketika ada dalam ketegangan. Hanya dalam bahaya saya merasa tenang. Kepuasan hidup hanya bisa dicapai ketika mengalahkan musuh. Dan sejarah memang memberikan saya peran sebagai pihak yang menang.

Sang Jenderal terus makan. Kelihatan lahap.

Tapi pada suatu saat, ia merasa apa yang dimakannya tak memberi rasa apa-apa. Hambar. Membosankan.

Sang Jenderal jadi gelisah.

Sang Jenderal:
(Berteriak, lebih pada dirinya sendiri) Heeeii! Sekali-sekali bikin perang dong! Biar seru!

(Tertawa geli) Saya sudah terlanjur kecanduan situasi krisis rupanya.

Sang Jenderal makan lagi, sambil sesekali mengeluarkan kembali tawa gelinya.

Datang seorang tentara membawa pesawat TV, lalu diletakkannya di atas meja. Sambil mengunyah makanan, Sang Jenderal masih sempat memencet tombol remote control.

Menyalalah TV di depannya.

Dan berubahlah ruang itu menjadi sebuah studio TV, dengan acara sebuah talkshow antara Sang Jenderal dengan seorang presenter.

Presenter:
Kita semua sudah tahu, bahwa Bapak adalah seorang jenderal yang dikenal begitu gigih berjuang di medan pertempuran. Bisa ceritakan bagaimana Bapak mengawali karier kemiliteran Bapak?

Sang Jenderal:
Ketika saya berumur belasan tahun, saya sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan. Barangkali karena saya dinilai serius dan berjasa dalam perang tersebut, lalu saya direkrut menjadi tentara.

Presenter:
Momen apa yang paling mengesankan ketika Bapak berperang menghadapi musuh?

Sang Jenderal:
Waahhh, banyak! Banyak sekali. Tidak bisa dihitung. Bahkan saya sendiri tak bisa mengingat semuanya.

Presenter:
Salah satunya?

Sang Jenderal:
Mmm .... O ya .... Tapi ini hanya salah satunya lho ya ....

Pernah dalam suatu operasi penumpasan, pasukan saya dihajar bazooka musuh. Kepala saya kena pecahan peluru. Hampir mati saya waktu itu, tapi tidak jadi. (Tertawa geli) Setahun lamanya saya dirawat. Rasanya bosan sekali.

Tapi lihat bekas luka di pelipis saya ini. Ia bersinar-sinar bagaikan bintang tanda jasa. Jangan salah. Tidak semua orang bisa menjadikan luka sebagai kebanggaan. Saya sendiri sangat bangga dengan luka-luka yang saya dapat dari medan pertempuran.

Dan untuk mencatat semua kisah perjuangan saya, sekarang saya sedang menyiapkan sebuah buku memoir.

Presenter:
Oh? Kapan kira-kira buku itu terbitkan?

Sang Jenderal:
Rahasia. Tunggu saja tanggal mainnya.

Presenter:
Baik. Kita harapkan buku itu nantinya bisa menjadi semacam acuan bagi para generasi muda.

Sang Jenderal:
Iya.

Presenter:
Mmm, Bapak juga dikenal sebagai penembak yang jitu ...

Sang Jenderal:
(Langsung menyergah) Oo, iya! Menembak tepat dari jarak 50 meter bukan masalah bagi saya. Saya pernah masuk koran karena menembak kaki maling. (Tertawa) Ada-ada saja wartawan itu. Baru nembak kaki maling saja sudah masuk koran. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau mereka menyaksikan saya bertempur, menembak musuh satu demi satu hingga terkapar bersimbah darah dan tak bernyawa, waaahh, bisa-bisa wartawan-wartawan itu malah pingsan duluan. (Tertawa lagi.)

Tawa yang lama-kelamaan kedengaran aneh itu membawa kembali Sang Jenderal ke rumahnya.

Ia tengah menyelesaikan suapan terakhirnya.
Tentara-tentara tadi datang mengangkut meja, kursi, serta peralatan makan Sang Jenderal.

Sang Jenderal menyempatkan matanya melirik TV yang masih menyala.

Di layar TV, Sang Jenderal menyaksikan berita tentang sengketa sebuah daerah.

Sang Jenderal:
Sial! Berita itu saja! Apa tidak ada masalah lain yang bisa diberitakan?! Pembangunan sedang marak, ini kok malah lain-lain. Ada-ada saja!

Dengan kesal, dipindahnya channel siaran.

Lalu tersaji gambar unjuk rasa para mahasiswa.

Sang Jenderal kembali memaki. Dipilihnya lagi channel yang lain.

TV menyajikan dialog para politikus tentang keadaan negara yang kian krisis, korupsi, kenaikan harga dan bla bla bla ....

Dimatikannya TV. Napasnya tersengal. Bibirnya tak kuat lagi mengeluarkan caci-maki. Diraihnya gelas minuman di sampingnya, lalu minum secukupnya.

Sang Jenderal berusaha menenangkan diri.

Seorang tentara datang membawakan cerutu dan koran Herald Tribune.

Setelah menyalakan cerutu untuk Sang Jenderal, tentara itu pergi.

Sang Jenderal menikmati cerutu, lalu iseng membaca salah satu berita di koran seperti memamah sepotong keju.

Sejenak, Sang Jenderal masih membaca koran.

Namun tiba-tiba, darahnya mendidih. Napasnya memburu.

Sang Jenderal:
(Dibantingnya koran. Muak. Sengit) Huuaahhh! Berita itu lagi! Berita itu lagi! Apa yang mereka ketahui tentang risiko kehilangan nyawa?! Apa yang mereka ketahui tentang bagaimana rasanya dikepung musuh di medan tak dikenal dan dibantai tanpa kenal ampun?!

Sialan!

Daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa, apa sekarang kita harus menyerahkannya kembali? Dasar wartawan tidak punya kerjaan! Seberapa besar sih jasa mereka dibandingkan dengan menghadapi peluru berdesing-desing, bom yang menggelegar, bazooka, dinamit, mortir, granat ....

Mereka semua mengesalkan. Semua wartawan itu. Juga para diplomat, politisi .... Apalagi mahasiswa. Sok gagah semua!

Mereka tahu apa? Bisanya cuma ngomong doang! Tahu apa mereka tentang keluarga tentara yang ditinggal mati, tentang menjadi cacat tanpa kaki dan tanpa tangan, tentang perjuangan tanpa pamrih yang dilecehkan sebagai penindasan? Ini penghinaan! Wilayah itu kita istimewakan, kita bangun lebih cepat dari wilayah-wilayah lain, kok malah dibilang menjajah! Kok dibilang mau memusnahkan bangsa! Apa-apaan?

Sang Jenderal bangkit. Dengan sigap tangannya meraih sepucuk pistol di saku piyamanya, lalu dengan terburu, seperti seorang prajurit yang dibangunkan mendadak tengah malam, ia menanggalkan piyamanya. Yang tinggal hanya celana dalam yang membungkus daerah fitalnya. Lalu dengan sigap pula, ia meraih sebuah penutup kepala kemiliteran bertanda bintang lima, kemudian mengenakannya.

Tubuh tegap Sang Jenderal berdiri di atas kursi dengan sikap sempurna seorang tentara. Tangan kokohnya mengarahkan pistol ke udara, dan ... dorrr!!

Seketika setelah suara tembakan itu, tertayang gambar-gambar peperangan yang disusul suara tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank, dan sebagainya.

Semua melaju begitu cepatnya.

Bersamaan dengan itu pula, beberapa orang tentara dari berbagai satuan, lengkap dengan senjata masing-masing, datang dan langsung berbaris rapi di hadapan Sang Jenderal.

Para Tentara:
Siap, Jenderal!!

Sang Jenderal:
(Layaknya seorang komandan yang memberi arahan pada para prajuritnya) Sebagai tentara, kehidupan kita hanyalah untuk berjuang, berjuang, dan berjuang. Tak ada yang lain. Kita harus bangga. Ini adalah tugas mulia yang kita emban. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia selain menjadi tentara. Tentara itu mulia karena dengan menjadi tentara seseorang telah menyerahkan nyawanya. Untuk tanahair kita tercinta.

Menjadi tentara lebih dari sekedar sebuah profesi. Kita sangat jauh lebih berharga dibandingkan dengan profesi lainnya. Apalagi dibandingkan dengan wartawan, diplomat, politisi, dan mahasiswa, yang sok gagah itu. Jasa mereka tak ada apa-apanya dibandingkan kita yang berjuang menghadapi senapan, bom, bazooka, dinamit, mortir, granat ....

Sekarang lihatlah! Musuh sudah ada di depan kita. Mereka siap menyerang kita setiap saat. Meluluhlantakkan kita kapan pun mereka mau. Maka, sekarang bersiaplah! Bersiaplah mengorbankan jiwa dan raga untuk nusa dan bangsa.

Tapi ingat, musuh yang sekarang ini bukan hanya bala tentara musuh yang selalu bersenjata. Mereka tak selalu bersenjata. Tak selalu seperti orang yang sedang memberontak. Musuh kita adalah juga para wartawan, diplomat, politisi, mahasiswa, yang hanya bisa mengeritik saja. Mereka sama berbahayanya.

Kalian ingat? Dulu daerah itu kita rebut dengan mengorbankan beribu-ribu nyawa. Sekarang mereka malah seenaknya ingin menyerahkannya kembali. Ini penghinaan besar-besaran terhadap reputasi kita sebagai tentara. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.

Jadi, tunggu apa lagi! Kita harus sikat mereka! Ganyang semuanya!

Kerjakan!!

Para Tentara:
Siap, Jenderal!!

Tentara-tentara itu bergerak dengan gesitnya. Mereka siaga, memasang posisi siap menggempur sebuah arah. Ada yang tiarap, ada yang bersembunyi, ada yang mengintai dengan teropong, dan sebagainya.

Sang Jenderal segera turun dari kursi, lalu ikut tiarap di belakang para tentara. Ia juga bersiaga dengan pistolnya.

Sementara gambar-gambar peperangan terus melaju kian cepat. Suara-suara kian riuh.

Ketika sebuah ledakan keras terdengar dari luar, dengan cepat Sang Jenderal memberi komando.

Sang Jenderal:
Seraaaangng ...!!

Para tentara maju ke sebuah arah. Mereka menembakkan senapan-senapan mereka.

Terciptalah suasana perang yang riuh dan mencekam.

Ketika semua tentara lenyap dari hadapannya, Sang Jenderal bangkit perlahan.

Lalu tertawa terbahak-bahak.

Perlahan, suara tembakan, gambar-gambar dan suara-suara peperangan itu lenyap, ditelan tawa Sang Jenderal yang begitu panjang, yang lama-kelamaan kedengaran begitu aneh.

Masih menyisakan tawa, Sang Jenderal kembali ke kursi malasnya. Memakai kembali piyama serta kacamata hitamnya, menyimpan lagi pistol ke saku piyamanya, lalu menanggalkan penutup kepala kemiliterannya.

Kehausan, ia teguk sisa minuman di gelasnya hingga tandas.

Sang Jenderal:
Perlu diberi penegasan bahwanya seorang prajurit itu diuji di lapangan. Bukan di belakang meja. Bukan pula di depan layar komputer. Bukan dengan corat-coret di atas kertas. Bukan pula dengan banyak omong. Yang penting bagi prajurit adalah sejauh mana ia berani mengeluarkan timah panas dari senapannya. Seberapa garang ia di medan tempur.

Hidup saya sendiri memang habis di medan tempur. Sejak umur belasan tahun saya sudah ikut bertempur dalam perang kemerdekaan. Sebelum akhirnya saya direkrut menjadi tentara. Setiap kali ada pemberontakan, saya selalu diterjunkan untuk memadamkannya. Saya hampir selalu dikirim, karena setiap tugas yang dibebankan pada saya selalu beres seberes-beresnya.

Itulah saya!

Lalu terdiam. Lama. Tak jelas apa yang berkecamuk dalam kepalanya.
Akhirnya kentara juga kegelisahannya. Sang Jenderal seperti kikuk dengan posisi tubuhnya.

Berulang kali ia benahi posisi tubuhnya.

Tapi tak juga mendapat kenyamanan.

Sang Jenderal:
(Berteriak, entah ditujukan kepada siapa) Heeeii! Ayo dong bikin perang! Hidup kok adem-ayem kayak gini! Garang sekali-sekali kenapa sih?! Begini nih .... (tangannya merogoh saku piyama, mengeluarkan pistol, lalu menembakkannya beberapa kali ke sembarang arah.)

Nah, kan seru kedengarannya!

Lama-lama ia bosan juga.

Sang Jenderal:
Ah, nggak ada musuh jadi nggak seru juga ....

Kembali kekikukan itu menyerangnya. Tangannya bergerak ke arah-arah yang tak tentu, mencari sesuatu – entah apa – yang bisa menghilangkan gelisahnya.

Diambilnya gelas. Kosong.

Penutup kepala kemiliteran dengan lima bintang bertengger. Itu pun dirasanya hambar.

Pistol. Tak ada musuh. Buang peluru percuma.

Koran yang sempat dibantingnya. Ah, berita yang menyakitkan saja isinya.

Ia ingat sesuatu. Dirogohnya saku piyama yang satu lagi. Sebuah telepon genggam di sana.

Sang Jenderal memencet beberapa nomor.

Sang Jenderal:
Halo? – Heee, tidak usah tanya kabar. Aku tetap begini-begini saja. Sama seperti kau. Hahaha .... – Eh, kau punya musuh nggak? – Iya, musuh! – Yaa, barangkali bisa aku tembak. Gatal tanganku. – Hahaha ...! – Ngomong-ngomong, bagaimana tulisan memoirmu? Sudah berapa halaman? – Baru seratus halaman?! – Aku sudah lima ratus halaman lebih. – Oke, kontak aku kalau kau sudah melewati lima ratus halaman. Nanti kita terbitkan bersama, kita launching bersama. Oke? – Oke ....

Memencet lagi nomor yang lain.

Sang Jenderal:
Halo! – Hahahaha ...! Baru berapa halaman? – Enam ratus?! – Aku sudah seribu halaman lebih. – Ah, tidak masalah. Yang penting kita tumpahkan semua di buku memoir itu. Biar mereka tahu, bagaimana gagahnya kita, bagaimana kita mati-matian, di medan tempur. – Oke ....

Memencet nomor lagi.

Sang Jenderal:
Sial! (Menutup teleponnya) Sombong sekali! Pensiunan kok sibuk!

Nomor yang lain lagi.

Sang Jenderal:
Aaaahhhh ...! (Menutup teleponnya) Apa saja sih kerjaan mereka?! Sok sibuk semua!

Dimasukkannya kembali telepon genggam ke saku.

Gelisah itu datang lagi.

Digerakkannya tangan ke arah-arah yang tak tentu, mencari sesuatu – entah apa – yang bisa menghilangkan gelisahnya.

Diambilnya gelas. Kosong melompong.

Penutup kepala kemiliteran dengan lima bintang bertengger. Ah, hambar.

Pistol. Ah, lagi-lagi tak ada musuh. Buang peluru percuma.

Koran yang sempat dibantingnya. Ah, seperti kertas kosong saja.

Akhirnya tangannya jatuh pada remote control. Dinyalakannya TV.

Film perang!

Sang Jenderal:
Naaahhhh ...! Ini dia!

Begitu gembiranya ia melihat film perang di TV.

Pistolnya dirogoh. Ditanggalkannya piyama. Dikenakannya penutup kepala berbintang lima.

Ikut beraksi, seakan ia ada dalam kisah perang di TV.

Beberapa kali dikeluarkannya timah panas.

Kegembiraan yang meluap! Sang Jenderal seperti menemukan medan tempurnya yang telah lama hilang.

Lalu, barangkali dari dalam imajinasi Sang Jenderal, suara-suara perang bermunculan. Tembakan, ledakan, teriak kemenangan, hardikan, yel-yel tentara, deru pesawat tempur, komando, rintih kesakitan, derap sepatu tentara, desing peluru, erangan tertahan menjelang ajal, deru mobil, tank, dan sebagainya.

Kemudian gambar-gambar peperangan itu muncul lagi.

Sang jenderal tertawa dengan puasnya. Dar-der-dor tumpah dari pistol di tangannya.

Kini tubuhnya menari-nari, ditimpa gambar-gambar peperangan yang melaju kian cepat.

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.

Sang Jenderal kian garang, kian terlena dengan hura-huranya. Tubuh basahnya kian liar.

Seiring hujan yang kian menderas, gambar-gambar peperangan berubah menjadi warna merah semata. Kian lama, kian merah. Merah darah.

Sang Jenderal terus menari.

Sang Jenderal:
(Berteriak) Darah itu merah, Jenderal!!

Semuanya berjalan dalam waktu yang lumayan lama.

Hingga pada satu saat, segala gambar dan suara memudar.

Tinggal merah pudar. Serta rintik hujan.

Dan Sang Jenderal yang terkapar kecapaian.

Sang Jenderal:
(Dalam napas tersengal) Memang ... sudah waktunya ... aku pensiun ...

Lalu hanya suara rintik hujan ....

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra