Surat Yang Tak Pernah Dikirim Kartini

Oleh: Nanoq da Kansas

ANAK-anak sedang sehat semua. Yang paling besar, lelaki yang mirip kamu, telah terdaftar di taman kanak-kanak terbaik di kota tempat tinggalku sekarang. Uang pangkalnya dua ratus ribu rupiah termasuk biaya administrasinya. Terus, uang partisipasi pembangunan gedung sekolah enam ratus ribu, bisa dicicil tiga kali dalam tiga bulan. SPP-nya tiga puluh ribu. Biaya makan bersama di akhir minggu lima ribu. Uang untuk tiga stel seragam termasuk pakaian olah raga seratus ribu. Terakhir, ongkos transportasi antar-jemput dengan mobil sekolah enam puluh ribu sebulan. Itu sudah beres semua. Cuma saya tak sempat mengantarnya saat pendaftaran. Soalnya ada pertemuan penting di tempat kerja. Waktu itu pembantu juga sedang pulang kampung. Katanya ada upacara adat. Jadi, dia diantar Mami yang kebetulan datang. Maaf, ternyata dalam buku induk sekolahnya kemudian, nama kita sebagai orang tuanya tak tercantum. Yang tercantum justru Mami sebagai wali muridnya. He he he, anak kita seperti yatim piatu saja ya? Tapi tak apa. Yang penting toh urusan sekolahnya itu sekarang sudah beres.

Anak kita yang kedua, perempuan mungil yang ternyata lebih cantik dari saya itu, sekarang sekotak susu sudah tak cukup lagi untuk dua hari. Tapi dia anak yang mandiri. Tidak rewel jika saya tinggal berkerja di malam hari. Dia mengerti untuk tidur sendiri, bermain sendiri, menangis lalu diam sendiri. Kecuali mandi dia masih sama pembantu. Sama saya dia jarang mau. Ia telah fasih menirukan seluruh iklan di televisi. Bisa mengangkat telepon, bahkan membuka kulkas. Saya rasa dia cerdas seperti burung pipit.

Bagaimana keadaan kamu? Saya kangen. Kurangilah merokok. Jangan mabuk. Soalnya saya dengar sekarang kamu mulai bergabung lagi dengan gembel-gembel itu. Cobalah hentikan kebiasaan begadang. Kalau kamu sakit, saya sedih. Karena saya tahu kamu tak akan ke dokter. Kamu kan selalu kere. Jangankan ke dokter, untuk menelepon saya atau beli perangko saja kamu tak bisa menyisihkan. Makanya saya tak pernah mengharap surat kamu.

Ya, saya rindu. Terutama bila mau tidur. Badan terasa pegal linu semua, sampai ke pangkal paha. Tapi tak ada yang bisa memijat seperti kamu. Lelaki di sekitar saya brengsek semua. Maunya cuma di sekitar pusar. Saya mual.

Kalau sedang sedih, saya jadi benci kamu. Benci cara berpikir kamu, prinsip hidup kamu, kemiskinan kamu dan kepala batu kamu. Saya benci naluri dan bakat hidup tradisional kamu yang tak masuk akal itu. Hidup bermodal cinta, bekerja di dalam cinta. Tai kucing. Kalau badan kurang gizi, kalau anak-anak merengek minta es krim, kalau keluarga datang dan ingin mengajak jalan-jalan ke mall, kalau saudara-saudara datang dan ingin ditraktir di kentucky, tanpa uang bagaimana kita bisa aman untuk bercinta?

Saya benci kemelempeman kamu. Argumen-argumen kamu yang sudah keropos itu. Teman-teman sekolah saya yang dulu paling kere sekarang sudah berani nyicil mobil. Tetangga-tetangga yang paling ringsek ekonominya sudah berani ngamprah rumah BTN, pasang telepon, beli kulkas atau home theatre. Tapi kamu masih selalu pura-pura tak butuh. Pokoknya saya benci cara hidup kamu. Saya perlu hidup yang layak. Layak menikmati apa yang ada. Layak memenangkan setiap kesempatan yang ada. Layak masuk surga mumpung masih hidup. Hidup kan cuma sebentar dan sekali?

Kembali ke soal anak-anak, menurut pembantu, mereka juga kangen sama kamu. Yang laki-laki sering ngelindur menyebut-nyebut nama kamu. Kadangkala dia uring-uringan tak jelas juntrungannya. Bila saya bujuk, saya malah diusirnya, dipukulinya, bahkan tak mau diajak bicara. Yang perempuan jadi ikut-ikutan. Kalau sudah begini, saya jadi merasa terkucil. Saya jadi merasa sia-sia. Saya ingin marah.

Apakah saya keliru mengambil langkah? Lantas saya mesti bagaimana? Apakah saya harus kembali ke kamu? Kembali ke dalam kamar sunyi kamu yang bagi saya kelewat abstrak itu? Kembali ke dalam kemiskinan kamu yang telah melempar saya ke rentangan jarak yang teramat menyakitkan antara saya dan keluarga besar saya yang modern, terpandang dan terhormat? Sementara saya sendiri kok tiba-tiba tak yakin apakah falsafah-falsafah usang hidup kamu itu akan mampu membentengi saya dan anak-anak dari ejekan zaman yang melesat ini. Saya tak yakin jika anak-anak nanti berani menghadapi kenyataan bila kamu masih saja tak bergeming dan terus memihak kepada perasaan. Sekali lagi saya yakinkan kamu: perasaan itu tak penting lagi di zaman ini. Bahkan dalam komik anak-anak pun hal yang bernama perasaan itu sekarang tak lagi disentuh.

Belakangan ini, Mami, Tante dan Om sering datang ke tempat saya. Mereka menyinggung-nyinggung ketegasan di antara kita.

“Kamu harus segera menentukan langkah. Jangan terlalu rumit berpikir. Ingat, kamu masih muda. Sebelum terlambat, kamu bla bla bla...,” Mami menghujamkan petuah-petuahnya seperti hendak mengeluarkan seluruh isi kepala saya.

“Apa lagi yang kamu tunggu?” Tante mengisi giliran ceramahnya beberapa hari kemudian. “Tak ada yang bisa diharapkan dari dia. Heran. Kenapa sih dulu kamu dapat orang macam dia? Sayangi dong kecantikan kamu. Tante dengar ada boss yang tergila-gila sama kamu. Walaupun konon anak-anaknya sudah ada yang mahasiswa, kata orang dia masih gagah. Tunggu apa lagi? Kamu takut? Soal istrinya, itu kan urusannya sendiri. Yang penting jaminan masa depan kamu. Yang penting bla bla bla...”

“Atau sekalian cari lagi yang masih bujang. Kamu tak sulit menggaet anak orang terpandang. Itu para investor asing juga kan suatu kesempatan? O ya, sebenarnya ada teman tante yang ingin kenal sama kamu. Bagaimana? Pertemuan bisa tante yang mengaturnya. Duda tanpa anak. Usahanya bla bla bla....”

“Yang penting kamu pastikan dulu status kamu secepatnya,” Om menyambung lagi pembicaraan itu lewat telepon. “Kapan kamu mau cari pengacara? Om bisa mengantar. Om punya teman yang saudaranya pengacara. Pokoknya gampanglah.”

Ketika suatu saat saya jelaskan kepada mereka bahwa saya akan membicarakan dulu masalah ini dengan kamu sekalian mengajak anak-anak untuk bertemu ayahnya, Tante marah. “Kamu sinting apa? Kamu mau menemuinya lagi? Di mana? Tak bisa! Itu sama dengan merendahkan martabat keluarga. Dan itu tidak sehat. Paling-paling kamu akan dirayunya dengan puisi-puisi gombalnya. Jangan mengulur-ngulur waktu. Lagi pula apa peduli kamu untuk mempertemukan anak-anak dengan dia? Kalau dia ingin ketemu, biar dia datang sendiri. Kalau dia mau mengambil anak-anaknya, kasi saja. Itu kalau dia berani. Enak saja!”

Saya katakan pada mereka bahwa kamu tak punya alasan untuk takut menemui saya dan anak-anak. Saya katakan bahwa kamu bukan orang yang berjiwa kerdil. Kamu bukan jenis orang yang mengagung-agungkan harga diri. Saya katakan mungkin kamu sedang tidak punya uang untuk ongkos atau kamu mungkin sedang sakit. Soalnya sudah agak lama saya tak membaca ada tulisan-tulisan kamu di koran.

Mendengar penjelasan saya itu, Om, Tante dan Mami tambah marah. Tapi aneh, kemarahan mereka dikeluarkan lewat ketawa yang ganjil dan seperti mau memecahkan kepala saya. Untung saya belakangan ini (mungkin karena kebiasaan yang saya peroleh di tempat kerja) sudah biasa bebal terhadap cemoohan-cemoohan semacam itu.

Sekarang saya ingin kejelasan dari kamu. O, tidak. Tidak! Bukan begitu maksud saya. Bukan apa-apa. Tapi rindukah juga kamu sama saya? Bagaimana cara kamu mengatasi kesepian selama ini? Mengatasi perasaan kosong? Jangan bohong! Kamu pasti pernah merasa sepi dan butuh saya. Dan terus terang sekarang soal inilah yang menjadi kekhawatiran saya terhadap kamu. Saya khawatir kamu mencari jalan pintas. Saya tak rela. Pokoknya tak rela! Astaga, saya jadi bingung. Walaupun saya sendiri..., aduh, saya jadi malu! Masih dapatkah kamu memaafkan saya?

Saya juga sering teringat ibumu di desa sana. Bagaimana kabar Ibu? Pernahkah Ibu menanyakan saya? Kasihan. Tentu Ibu sedih karena tak bisa melihat perkembangan cucu-cucunya yang lucu. Tolong kalau kamu sempat ke desa menengok Ibu dan Bapak, sampaikan salam saya. Ah, saya jadi merasa bersalah. Tapi apakah saya terus menerus mesti salah? Jadi saya harus bagaimana lagi? Bagaimana dan terus bagaimana? Persetan! Saya jadi kembali marah sama kamu. Ingin sekali saya membunuh kamu. Biar kamu tak pernah ada di dunia ini. Kenapa sih dulu kita bertemu? Kenapa kamu mencintai saya? Kenapa saya dulu jatuh cinta sama kamu? Kenapa anak-anak itu harus lahir dari kita?

Benar, saya kadang-kadang ingin kamu mati saja. Biar anak-anak itu menjadi milik saya saja. Biar tak terlalu banyak mikir. Tapi itu tak boleh. Enak saja kamu mati duluan. Pokoknya kamu tak boleh mati dulu. Saya larang dulu kamu mati. Paling tidak sampai saya merasa siap untuk itu. Siap menerima kematian kamu.

Pernah saya berpikir untuk mengajak kamu pergi sejauh-jauhnya. Tinggal di suatu tempat asing bersama anak-anak kita. Tempat yang tidak diketahui oleh siapapun, juga oleh keluarga yang senantiasa bertindak hidup kita sepenuhnya ada dalam keputusannya. Saya membayangkan itu akan cukup memberi ketenteraman. Kamu akan aman bekerja sesuai panggilan hati kamu. Saya aman dari teror dan keterkucilan atas silsilah keluarga terpandang dan modern. Keluarga yang menyerahkan martabatnya pada realitas benda-benda. Anak-anak pasti akan damai dalam pertumbuhannya yang alamiah. Tapi saya curiga lagi pada diri sendiri, akankah saya dapat bertahan dari rongrongan keraguan yang terlanjur mengakar dalam latar hidup saya?

Saya juga teringat pada apa yang pernah kamu bilang, bahwa selama cakrawala masih bundar, selama kepercayaan terhadap hati nurani belum menyatu dengan napas, segala macam pelarian tak akan dapat menolong. Kita senantiasa akan terjebak dan menyerah dalam kepungan berbagai pendapat, berbagai kepentingan yang seringkali tak berhubungan sama sekali dengan kedaulatan hidup kita.

Ya, kalau dipikir-pikir, keraguan saya sendirilah yang saat ini membuat saya hanya berlaku sebagai obyek pemuasan bagi obsesi ketenteraman, gengsi, bahkan naluri keberkuasaan orang-orang yang merasa telah membuat diri saya ada. Maksudnya, dulu saya sebenarnya senang ketika kamu mengajak saya tinggal jauh di luar lingkungan keluarga kamu dan keluarga saya. Sekarang saya bisa menangkap, bahwa saat itu kamu telah memberikan saya isyarat yang tegas bahwa kamu dan saya adalah sebuah lembaga yang punya kedaulatan sendiri. Waktu itu saya sempat merasa berani bangga. Berani bangga atas kamu sebagai pilihan saya. Apapun nama keadaan kita waktu itu, jujur saja, saya merasa aman. Mungkin itu yang bernama bahagia.

Sekarang apakah saya bahagia? Aneh rasanya. Pada siapa pertanyaan ini saya pertanyakan? Dan apakah ada jawabannya?

Tapi baiklah, terus terang, saya kadang-kadang menikmati juga keadaan saat ini. Enak juga seperti burung yang bebas. Terbang dan hinggap di mana suka. Dan...., ah, persetan! Yang terpenting adalah anak-anak. Karena saya tak akan kembali kepada kamu. Inilah keputusan saya sekarang. Saya lalukan, jalani dan nikmati yang ada dan terjadi saat ini, akhirnya adalah untuk anak-anak. Saya akan melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan mereka. Demi (kalau bisa) kebahagiaan anak-anak. Eh, apa? Salah lagi? Habis, saya tambah bingung.

Tapi sungguh. Saya harus bertahan. Dan kamu pun harus bertahan. Saya yakinkan: kamu tak boleh mati dulu. Anak-anak memerlukan kamu. Sebentar lagi mereka akan mulai menanyakan ayahnya pada saya. Ya, kepada saya, tidak lagi pada pembantu, pada Mami atau siapapun. Anak-anak akan menanyakan kamu pada saya.

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra