Oleh: Boyke SN
Sekaligus saya tak begitu peduli media apa yang menjadikan seseorang apa?
Bahkan kesenian tradisional yang saya kenal di Bali dan mungkin dimana saja, awal mulanya tak pernah memperhitungkan media, mereka mengalir hanya menuruti rasa karena kesenian apapun wujudnya adalah rasa. Di peragakan dimanapun akan terasa dan terlihat taksunya.(baca: jiwa)
Seperti ungkapan orang bali “ depang anake ngadanin” artinya: biarkan orang lain yang menilai, kalaupun berkilau dimanapun berada akan nampak sendiri.
Bagaimana mungkin nilai seni bisa terukur oleh media yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah karya?
Sayapun tak menampik jika karya sastra (puisi) berada pada media tertentu akan lebih mendapatkan pengakuan sebagai PENYAIR yang “konon” lebih menasional bahkan international.
Tetapi jika menulis puisi/prosa di media dunia maya (dalam hal ini blog/wordpress) akan dapat embel-embel sebagai PENYAIR CYBER. Puisi-puisinya adalah PUISI-PUISI SAMPAH. Sisa dari penolakan media cetak yang terbuang di TONG SAMPAH.
Saya tidak habis pikir, dunia maya ini dianggap sebagai hal yang main-main sesuatu yang tidak serius. Sesuatu yang dianggap sebagai tempat pembuangan sisa-sisa , barang bekas atau barang yang tidak berguna. Padahal saya, para sahabat penulis jungkir balik untuk membuat karya karya terbaik
Dan sebegitu anehnya berpikir puisi dianggap tak lebih seonggok sampah. Tapi mungkin puisi bagi mereka tak begitu berarti dalam kehidupannya.
Bagaimana dengan Cyber? Oh, tentu mereka tak menolaknya karena takut akan diolok-olok gap-tek.
“Kalau perlu, kok bisa-bisanya mengatakan penyair cyber?”
Sepertinya status nama penyair bisa ditambah embel-embel disesuaikan dengan media dipergunakan untuk mempublikasikan karyanya;
Jika menulis puisi pada selembar lontar, kulit binatang, bongkahan padas, batu….apakah akan disebut sebagai sastrawan/penyair hutan, penyair kebun binatang, penyair tebing, penyair kali….?
Kalau demikian, semakin hari nilai estetika sebuah karya tak ada lagi. Yang ada hanyalah sibuk mencari tempat untuk menempatkan karya seni agar menjadi sebuah pengakuan. Artinya para seniman tidak lagi bekerja hanya semata-mata untuk kepentingan karya itu sendiri. Tidak lagi total sebagai pencipta karya seni.
Begitu nyinyirnya jika media modern semacam blog, wordpress atau apalah namanya yang berhubungan dengan Internet dianggap sebagai media anti keseriusan dalam berkarya.
Dibalik itu semua, justeru saya sangat menikmati betapa dunia yang tanpa batas ini telah menjadi dunia yang bisa kita letakkan di meja makan bahkan dipangkuan sekalipun. Sayapun merasa bersyukur jika karya seni berupa puisi, prosa, cerpen dan lain-lain bisa begitu mudahnya dipublikasikan. tanpa lagi mesti melalui proses penyeleksian yang kadang agak lucu pada dunia cetak.
Disinilah letak keseriusan berkesenian yang sesungguhnya, yang menentukan baik buruk sebuah karya adalah pembaca/penikmat. Bukan meja redaksional.
Penulis pemula atau yang berlepotan seperti saya ini, dapat kesempatan yang sama dengan penulis yang memiliki reputasi kaliber mempublikasikan karya-karya terbaik.. Bisa dinikmati oleh berbagai usia dan beragam status sosial. Tidak terpaku pada perorangan atau kelompok pecinta sastra/seni belaka.
Karena misi kesenian sudah jelas, adalah rasa, nurani, jiwa.Ketika kita berharap penikmatnya adalah para pecinta, maka itu hanya sebatas apresiasi. Share.
Saya kira dunia bisnis cukup berperan dalam hal ini, bagaimana mungkin tulisan anak baru kemarin bisa dijual..? Dan media-media yang cukup beken di negeri ini sudah memperhitungkan sisi pengaruh popularitas seorang penulis atas jumlah oplah yang kemudian didapatkan. Paling tidak profit.
Tentu dalam hal ini media cyber adalah media harapan masa depan, media yang tak terbatas dimanapun saudara-saudara kita berada, bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apa yang sedang mereka kerjakan?
“Tak ada salahnya puisi-puisi, prosa-prosa menikmati media cyber”
Akhir kata, mari berkarya jangan pernah berkedip hanya karena tujuan, yang terpenting adalah proses……
Sekaligus saya tak begitu peduli media apa yang menjadikan seseorang apa?
Bahkan kesenian tradisional yang saya kenal di Bali dan mungkin dimana saja, awal mulanya tak pernah memperhitungkan media, mereka mengalir hanya menuruti rasa karena kesenian apapun wujudnya adalah rasa. Di peragakan dimanapun akan terasa dan terlihat taksunya.(baca: jiwa)
Seperti ungkapan orang bali “ depang anake ngadanin” artinya: biarkan orang lain yang menilai, kalaupun berkilau dimanapun berada akan nampak sendiri.
Bagaimana mungkin nilai seni bisa terukur oleh media yang digunakan untuk mengekspresikan sebuah karya?
Sayapun tak menampik jika karya sastra (puisi) berada pada media tertentu akan lebih mendapatkan pengakuan sebagai PENYAIR yang “konon” lebih menasional bahkan international.
Tetapi jika menulis puisi/prosa di media dunia maya (dalam hal ini blog/wordpress) akan dapat embel-embel sebagai PENYAIR CYBER. Puisi-puisinya adalah PUISI-PUISI SAMPAH. Sisa dari penolakan media cetak yang terbuang di TONG SAMPAH.
Saya tidak habis pikir, dunia maya ini dianggap sebagai hal yang main-main sesuatu yang tidak serius. Sesuatu yang dianggap sebagai tempat pembuangan sisa-sisa , barang bekas atau barang yang tidak berguna. Padahal saya, para sahabat penulis jungkir balik untuk membuat karya karya terbaik
Dan sebegitu anehnya berpikir puisi dianggap tak lebih seonggok sampah. Tapi mungkin puisi bagi mereka tak begitu berarti dalam kehidupannya.
Bagaimana dengan Cyber? Oh, tentu mereka tak menolaknya karena takut akan diolok-olok gap-tek.
“Kalau perlu, kok bisa-bisanya mengatakan penyair cyber?”
Sepertinya status nama penyair bisa ditambah embel-embel disesuaikan dengan media dipergunakan untuk mempublikasikan karyanya;
Jika menulis puisi pada selembar lontar, kulit binatang, bongkahan padas, batu….apakah akan disebut sebagai sastrawan/penyair hutan, penyair kebun binatang, penyair tebing, penyair kali….?
Kalau demikian, semakin hari nilai estetika sebuah karya tak ada lagi. Yang ada hanyalah sibuk mencari tempat untuk menempatkan karya seni agar menjadi sebuah pengakuan. Artinya para seniman tidak lagi bekerja hanya semata-mata untuk kepentingan karya itu sendiri. Tidak lagi total sebagai pencipta karya seni.
Begitu nyinyirnya jika media modern semacam blog, wordpress atau apalah namanya yang berhubungan dengan Internet dianggap sebagai media anti keseriusan dalam berkarya.
Dibalik itu semua, justeru saya sangat menikmati betapa dunia yang tanpa batas ini telah menjadi dunia yang bisa kita letakkan di meja makan bahkan dipangkuan sekalipun. Sayapun merasa bersyukur jika karya seni berupa puisi, prosa, cerpen dan lain-lain bisa begitu mudahnya dipublikasikan. tanpa lagi mesti melalui proses penyeleksian yang kadang agak lucu pada dunia cetak.
Disinilah letak keseriusan berkesenian yang sesungguhnya, yang menentukan baik buruk sebuah karya adalah pembaca/penikmat. Bukan meja redaksional.
Penulis pemula atau yang berlepotan seperti saya ini, dapat kesempatan yang sama dengan penulis yang memiliki reputasi kaliber mempublikasikan karya-karya terbaik.. Bisa dinikmati oleh berbagai usia dan beragam status sosial. Tidak terpaku pada perorangan atau kelompok pecinta sastra/seni belaka.
Karena misi kesenian sudah jelas, adalah rasa, nurani, jiwa.Ketika kita berharap penikmatnya adalah para pecinta, maka itu hanya sebatas apresiasi. Share.
Saya kira dunia bisnis cukup berperan dalam hal ini, bagaimana mungkin tulisan anak baru kemarin bisa dijual..? Dan media-media yang cukup beken di negeri ini sudah memperhitungkan sisi pengaruh popularitas seorang penulis atas jumlah oplah yang kemudian didapatkan. Paling tidak profit.
Tentu dalam hal ini media cyber adalah media harapan masa depan, media yang tak terbatas dimanapun saudara-saudara kita berada, bisa mengetahui apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apa yang sedang mereka kerjakan?
“Tak ada salahnya puisi-puisi, prosa-prosa menikmati media cyber”
Akhir kata, mari berkarya jangan pernah berkedip hanya karena tujuan, yang terpenting adalah proses……
0 komentar:
Posting Komentar