Kucari Cinta di Balik Kelaminmu

- kepada perempuan yang memberi hidup

Oleh: Wendra Wijaya

MALAM tak sekelam biasanya. Purnama masih mengiklaskan dirinya untuk memandu langkah sang pejalan jauh. Tak jelas kemana arahnya. Yang ia tahu hanyalah berjalan, mengikuti nalurinya.

Entah berapa depa jarak yang ditempuhnya. Wajah kusut itu menyiratkan kelelahan yang teramat sangat. Bahkan mungkin, telah menghabiskan 23 tahun kehidupan untuk mencari. Hanya mencari!

“Ah dunia, seberapa luaskah engkau untuk ku jelajahi? Seberapa iklaskah engkau menerima keberadaanku, untuk sesekali menikahimu? Dimanakah akan kutemukan cinta?”

Aku hanya bisa meracau, menggumam dengan bahasa yang entah. Jalanan berdebu, trotoar jalan, lampu penerang kota, pohonan yang membisu menjadi pelampiasan kekalutanku.

“Angin, tak bisakah kau sesekali berhenti bergerak? Tinggallah sejenak. Mari berbincang. Tentang cinta, kasih dan pengorbanan dunia. Sungguh, aku perlu itu. Aku remuk di tengah pergulatanku sendiri. Atau jangan-jangan, kau pun tak memahaminya. Apa yang kau tahu tentang cinta, kasih dan pengorbanan?”

Aku menggerutu, menghardik, menghentak. Menahan amarah. Mencabik-cabik diriku sendiri. Menenggelamkan jiwa di ujung kelam satu sudut kota.

Aku terasing. Hanya gamelan yang masih setia mengiringi langkah panjang perjalanan. Kekasih, aku larut dalam tatapanmu. Di balik kelaminmu, masihkah kutemukan cinta itu? 23 tahun ini aku mengembara, mencari jalan pulang ke balik kelamin yang membuangku. Biarkanlah aku kembali sejenak Bahkan hanya untuk sekedar berkata, aku ingin tetap di sini. Mencari teduh kegalauan jiwaku!

Ah, apa yang kupikirkan? Tentu tak ‘kan ada lagi sejengkal tempat buatku di sana. Aku terlalu angkuh menjalani kehidupan untuk kembali lagi. Inilah konsekuensi dari prosesi bernama hidup!

*****

“Melangkahlah sebelum gaib melumatmu. Tak ada yang bisa kau lakukan selain itu. Tataplah dirimu. Apa yang bisa kau lakukan untuk merayakan kehidupanmu? Hanya engkau yang tahu!”

Aku terpaku. Tak ada yang bisa benar-benar menolongku. Tak akan ada yang bisa menjawab pertanyaan, memberi cahaya atas kegalauanku. Tak seorangpun....

suatu hari di pangkalan
tersaput dingin dan keheningan malam

Lihat (Baca) juga Karya Lainnya:



0 komentar:

Posting Komentar

Prolog

Era tahun 90-an. Kota Negara (Jembrana) bagai atraksi; baca puisi, lomba cipta puisi, musikalisasi puisi, pentas teater, mulai dari desa kedesa sampai ke acara resmi pemerintah daerah.

Kalau dirinci puluhan kelompok sanggar selalu rutin menggelar pentas keseniannya, mulai Sanggar Gardi Loloan, sanggar Prasasti, Teater Kene, Sanggar Susur, Sanggar Pilot, Sanggar
Kenari, Kelompok Pesaji, Teater Hitam Putih, Teater GAR, Padukuhan Seni Tibu Bunter, KPSJ, Bali Experimental Teater, dan banyak lagi yang diam-diam menggelar aktifitasnya sendiri.

Rajer Babat (Rembug Apresiasi Jembrana Bali Barat) Purnama Kapat merupakan wadah kreativitas seniman-seniman muda yang getol menggeluti kesenian modern di kota Makepung, kendati jauh dari hiruk pikuk metropolitan dan serba minimalis. Penyelenggaraan kesenian hanyalah menghandalkan honor nulis puisi, prosa di media setempat.

Kemana-mana, mengajukan proposal atau ijin keramaian misalnya, dilakukan dengan berjalan kaki atau kadang naik sepeda pancal. Kalau ingin naik sepeda motor, harus nunggu teman yang kebetulan mampir atau sekedar mencari keramaian di posko. Tapi, tanpa mengurangi taksu (baca: jiwa) tentunya!

Apresiasi

Kategori


 

dimodifikasi oleh Wendra